Di UU tersebut sangat jelas mengatur secara rinci eksistensi dan kewenangan badan-badan lembaga yang menyelesaikan perselisihan berkaitan dengan pemilu.
Lembaga-lembaga itu ada yang merupakan kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Gakkumdu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Bawaslu RI dan ujungnya adalah Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan pemilu.
Baca Juga: Kala Mahfud MD Ungkit Kembali Pandangan Yusril: MK Jangan Jadi Mahkamah Kalkulator
Dengan adanya pengaturan tentang pembagian kewenangan dalam menangani sengketa pemilu melalui Bawaslu, PTUN, dan Mahkamah Agung dalam sengketa administratif dan sengketa hasil oleh Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2017.
"Maka tidak relevan Profesor Mahfud mengutip pendapat "Maha Guru HTN Profesor Yusril Ihza Mahendra" yang pernah mengatakan MK seyogyanya tidak menjadi mahkamah kalkulator, tapi mahkamah seharusnya berperan memeriksa pelaksana pemilu secara substantif sejak dari proses pelaksanaan," ujar Yusril.
Lebih lanjut Yusril menilai, pendapat Mahfud yang mengutip pernyataan dirinya saat sidang sengkata Pilpres 2014 dapat dikategorikan seperti dikenal dalam Ilmu fiqih Qaul Qadim, atau satu pendapat dapat dibatalkan atau ditinggalkan dengan Qaul Jadid atau pendapat baru karena norma-norma hukum mendasarinya juga telah berubah.
"Jadi tidak relevan mengutip pendapat tahun 2014 untuk keadaan sekarang karena norma hukum positif telah berubah," ujar Yusril.
"Tapi kalau mau dianggap yang ideal suatu ketika MK boleh mengadili sampai kepada substasi penyelenggaraan pemilu, maka tentu tidak saat sekarang, tapi mungkin dalam amandemen terhadap UUD 1945 dan amandemen terhadap UU Pemilu itu sendiri," tambahnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.