“Jadi perolehan suara yang kita dapat tanggal 14 Februari 2024 ketika rakyat pemilih itu datang berbondong-bondong ke TPS, itu kan semua ditentukan oleh apa yang terjadi sebelum pencoblosan,” ucapnya menegaskan.
“Apakah itu pada masa kampanye, mungkin juga jauh sebelum masa kampanye itu sudah bisa dibuktkan.”
Jadi, lanjut Todung, ini yang sebetulnya menjadi tantangan MK untuk betul-betul melihat secara jernih di esensi dari sengketa pilpres yang sedang dihadapi ini.
Sebelumnya, dalam dialog yang sama, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Habiburokhman, jika berbicara soal TSM atau terstruktur, sistematis, dan masif, ada dua hal besar yang menurutnya perlu digarisbawahi.
“Pertama, sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 7 tahun 2017, jelas rezim TSM itu menjadi obyek dari Bawaslu.”
“Lalu praktik terhadap apa yang diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 adalah sengketa Pilpres tahun 2019, di mana waktu itu kami sebagai pihak pemohon,” jelasnya.
Baca Juga: Senyum Gibran Tanggapi Isu Peluang jadi Ketum Golkar
Ia menuturkan, saat itu pihaknya mengajukan argumentasi yang kurang lebih sama seperti disampaikan oleh kubu lain pada saat ini, dan gugatan itu ditolak.
“Jadi kalau kita melihat undang-undang itu satu aturan tertulisnya, kedua praktiknya. Aturan tertulisnya itu UU nomor 7 Tahun 2017, yang kedua praktik terhadapaturan itu, yatu PKPU Pilpres tahun 2019.”
“Dua-duanya menegaskan bahwa kalau TSM itu pengaturannya dan penindakannya sudah dialihkan ke Bawaslu,” kata dia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.