Ia juga berpendapat bahwa dalam mengajukan gugatan ke MK, semangat yang dibawa Perludem adalah jangan sampai ada aspirasi suara rakyat yang sudah mencoblos terbuang begitu saja.
“Dari sini kan begitu sayang, ada 7,79 persen yang terbuang suara rakyat, jadi tentunya kami sebagai PSI yang juga menyuarakan hal yang sama sejak tahun 2019, kami sangat apresiasi,” tegasnya.
“Ini merupakan suatu kemajuan dalam demokrasi meskipun ini open legal policy yang harus dibahas lagi oleh teman-teman di DPR nanti,” katanya.
Sebenarnya, lanjut Cheryl, kondisi di DPRD provinsi dan kabupaten/kota bisa diterapkan, yakni parpol yang anggota legislatifnya tidak cukup membentuk satu fraksi bergabung dengan parpol lain.
“Misalnya di DPRD. Di DPRD Bandung itu kami mengambil contoh ya, satu fraksi itu harusnya empat kursi, tapi PSI mendapatkn tiga kursi, akhirnya kami bergabung untuk jadi satu fraksi dengan PPP,” ujarnya.
Baca Juga: Politikus PDIP Sebut Putusan MK soal Ambang Batas Parlemen Picu Perdebatan Baru: Fraksi Siap Amunisi
Sebelumnya, dalam dialog yang sama, Waketum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi mengatakan, dari sisi teori, semakin tinggi ambang batas PT akan menyebabkan semakin besar disproporsionalitas.
Artinya, akan banyak suara sah yang nasional tidak bisa dikonversi menjadi kursi.
Ia pun mencontohkan pemilu tahun 2009, yakni suara sah nasional yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi ada 14,4 persen, kemudian pada tahun 2014 ada 10,6 persen, dan Pemilu 2019 ada 11,12 persen.
“Kita belum tahu berapa nanti angka suara sah yang tidak bisa dijadikan kursi untuk 2024,” ujarnya.
“Meskipun parliamentary threshold ini bersifat tidak nasional, hanya berlaku untuk DPR RI, tidak berlaku untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota, maka dari Mahkamah Konstitusi tidak boleh empat persen, ya menurut akal sehat harus kurang dari empat persen,” bebernya.
Angka itu, kata dia, tidak boleh lebih dari empat persen, karena kalau lebih akan menyebabkan disproporionalitas dalam pemilu.
“Kedua, tidak ada batasan berapa jumlah ideal dari angka parliamentary threshold, karena setiap negara memiliki basis kultural politik masing-masing,” jelasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.