JAKARTA, KOMPAS.TV - Memasuki musim pemilu saat ini sama dengan panen uang (season of money) bagi sebagian masyarakat. Meski banyak dikritik, namun kondisi tersebut terjadi karena ada hubungan timbal balik antara konstituen dan mereka yang mencalonkan diri dalam konstestasi politik.
"Sebuah pepatah mengatakan bahwa tari tango hanya dapat dilakukan oleh dua orang. Bukan hanya pemilih yang mata duitan yang menyebabkan politik uang masif, tetapi juga caleg yang terlibat dalam praktik jual beli suara ini juga turut bertanggung jawab," demikian disampaikan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam pidato pengukuhannya sebagai sebagai Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Dalam pidato berjudul Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi dan Institusi dipaparkan penelitian lapangannya selama 13 bulan pada saat puncak Pemilu 2014 dan 2019. Burhan menemukan bahwa banyak politisi yang menyesalkan meningkatnya tuntutan kepada mereka untuk melakukan pembelian suara.
Baca Juga: Awasi Politik Uang saat Pemilu, Bawaslu Komunikasi dengan PPATK
Bahkan praktik ini telah mengalami normalisasi.
"Saya menyaksikan peningkatan popularitas istilah seperti 'NPWP' dan 'Golput' di kalangan pemilih selama kampanye Pemilu 2014," katanya.
'Golput', yang biasanya merujuk pada pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya, dipelesetkan menjadi 'golongan penerima uang tunai'. Sementara NPWP yang merupakan singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak, dipelesetkan menjadi 'Nomer Piro, Wani Piro' (nomor berapa, berani berapa) yang diambil dari bahasa Jawa, yang berarti caleg berani bayar berapa agar pemilih memilihnya.
Juga singkatan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang diplesetkan jadi Kasih Uang Habis Perkara. Meskipun politik uang secara resmi ilegal, pembelian suara makin dianggap sebagai hal biasa selama pemilu dan jarang dituntut secara hukum.
Bukan hanya itu, studi-studi Burhan tentang politik uang menunjukkan bahwa relasi antara kandidat dan timses dan antara timses dengan pemilih dalam rangka distribusi material jelang pemilu pada umumnya bersifat one-off interaction, jangka pendek dan transaksional ketimbang hubungan pertukaran yang bersifat jangka panjang atau kontraktual.
Baca Juga: Cak Imin Sebut Politik Uang Merajalela di Indonesia: Bikin Rakyat Apatis
Sementara bagi para calon, mereka mengkritik sikap pemilih yang menganggap bahwa siapa pun yang terpilih, apa pun partainya, kemungkinan besar akan melupakan konstituennya segera setelah pemilu. Sedangkan bagi pemilih, pemilu sering dianggap sebagai kesempatan yang jarang dimiliki oleh orang biasa untuk 'menghukum' dan mengembalikan hak yang dicuri oleh politisi atas dana publik.
Akhirnya, stigma negatif politik uang yang awalnya melekat menjadi melemah akibat dari 'normalisasi' ini.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.