TIMOR TENGAH UTARA, KOMPAS.TV - Ungkapan "pahlawan tanpa tanda jasa" yang lekat dengan sosok guru tampaknya masih relevan, terutama di daerah perbatasan Indonesia.
Tiga guru di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Wini, di Humusu C, Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkapkan tantangan yang mereka hadapi selama mengajar siswa di perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Gaji yang tak dibayarkan atau terlambat dibayarkan hingga fasilitas mengajar yang terbatas tak menurunkan semangat Lukas Kolo, Frederikus Tnepu Bana, dan Aryance Paulina Thake Kolo untuk mengajar para siswa SMP N Wini.
Lukas Kolo adalah guru Bahasa Indonesia di SMP N Wini yang sudah mengajar selama satu dekade atau 10 tahun. Namun, ia baru menerima Surat Keputusan (SK) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada Agustus 2023.
Meski sudah tiga bulan diangkat menjadi guru PPPK, Lukas Kolo masih belum menerima gajinya hingga November 2023.
“Saya terima SK tanggal 7 Agustus 2023, sampai hari ini belum terima gaji. Mungkin pemerintah masih urus, karena terlalu banyak peserta,” ungkap Lukas.
Ia tidak mengetahui secara pasti kapan akan menerima gaji. Sementara itu, ia menyambung hidup dengan menjadi pekerja kebun dan menjual hewan.
Bahkan, Lukas dan keluarga kecilnya sengaja tinggal di ruang perpustakaan sekolah di SMP Negeri Wini yang dialihfungsikan menjadi mes. Sebab, ia perlu menghemat biaya transportasi dari rumahnya yang berjarak 25 kilometer dari SMP N Wini.
“Pulangnya kalau ada keperluan saja. Ya kadang satu bulan sekali. Yang menginap di mes ada tiga guru, termasuk saya,” katanya.
Baca Juga: Link Download PDF Pidato Hari Guru Nasional 2023 Kemendikbudristek untuk Amanat Pembina Upacara
Ada 235 siswa siswa yang bersekolah di SMP Negeri Wini pada tahun ajaran 2023/2024. Sementara itu, total tenaga pengajar di sana berjumlah 31 guru yang terdiri dari 14 guru PPPK dan 17 tenaga honorer.
Lukas mengatakan, setiap siswa di SMP N Wini dipungut biaya Rp35 ribu rupiah setiap bulan untuk memenuhi keperluan sekolah dan menggaji guru honorer.
“Per harian dari Pemerintah Daerah (Pemda) sudah tidak ada lagi. Karena, kontrak sudah diputus untuk guru-guru. Jadi, honorer murni. Biayanya (digajinya) dari uang yang setiap siswa bayar Rp35.000 untuk guru honorer,” kata Lukas.
Uang tersebut, kata Lukas, khusus untuk para guru honorer, sehingga dirinya yang merupakan guru PPPK tidak menerima gaji dari uang komite.
“Karena, dari biaya komite ini harus murni ke guru yang berstatus honorer,” kata Lukas. Meski dikenakan biaya, terkadang pihak sekolah secara tersirat tidak memaksakan siswa untuk membayar. Hal ini mengingat kondisi ekonomi para orangtua siswa yang berbeda-beda.
Guru Bahasa Indonesia lainnya, Aryance Paulina Thake Kolo, mengaku setiap guru harus membeli buku referensi tambahan dari dana BOS untuk siswa.
“(Kalau ada tambahan belajar, guru) harus beli. Terkadang, buku referensinya disiapkan oleh guru, lalu mereka fotokopi,” kata Aryance.
Meski begitu, perempuan yang kini berstatus guru PPPK itu mengaku tak terpaksa menjadi guru karena merupakan panggilan jiwanya.
“Tidak terpaksa. Mungkin karena sudah profesi dan latar belakang pendidikan, panggilan jiwa. Latar belakang guru, kalau mengalami kesulitan, tetap jalankan tugas. Tetap percaya, suatu saat pasti ada kebaikan,” ucapnya.
Lain halnya dengan Frederikus Tnepu Bana (34) yang merupakan guru honorer pengajar Bahasa Inggris di SMP N Wini.
Frederikus sudah mengajar sebagai guru honorer selama 2 tahun. Lulusan Universitas Timor itu mengaku sempat telat menerima gaji selama enam bulan.
Ia mengatakan, gaji para guru honorer bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan uang komite dari siswa yang dipungut Rp35 ribu tiap bulan.
“Biasanya telat (dapat gaji). Kan 15 persen dari dana BOS dan beberapa persen dari komite. Kalau dana Bos kan bertahap. Kalau sudah cair, baru dibayar. Kalau enggak, kita nikmati saja,” ujar Frederikus.
Menurut Aryance, pungutan Rp35 ribu kepada para siswa yang salah satunya digunakan untuk menggaji guru honorer juga terkadang tak dipaksakan oleh pihak sekolah, mengingat kondisi ekonomi orang tua siswa yang berbeda-beda.
Ia tidak mengungkapkan secara rinci berapa nominal gaji yang diterima para guru honorer. Namun dia menyebut gaji untuk guru honorer berdasarkan lamanya mengajar di SMP Negeri Wini.
“(Yang diterima guru honorer) tergantung masa bakti. Ada yang Rp1 juta, ada yang Rp500.000,” kata Aryance.
Tak hanya telat menerima gaji, Frederikus mengaku harus membuat alat peraga karena sekolah tak memiliki laboratorium bahasa.
“Sejauh ini, kami hanya bisa pakai alat peraga. Kami kreatif sendiri untuk membuat gambar atau poster. Kami sediakan dan kami paparkan agar mereka tahu tentang apa,” tuturnya.
Saat praktik listening atau praktik mendengarkan percakapan Bahasa Inggris, Frederikus menggunakan speaker atau pengeras suara kecil yang disambungkan ke ponsel miliknya.
Frederikus mengungkapkan bahwa SMP Negeri Wini tak memiliki proyektor untuk mengajar. Bahkan, terkadang dirinya meminjam proyektor ke SD Katolik Wini yang tak jauh dari sekolahnya.
“Kami kadang kalau mau pakai Infocus (merek proyektor) harus pinjam dari SD Katolik Wini. Karena kan mereka ada. Kalau ada pertemuan orangtua dan urgent, ya harus pinjam,” ujar Frederikus.
Meski begitu, Frederikus tetap mengaku akan terus mengajar para murid karena menjadi guru adalah pilihan hatinya.
Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk berhenti menjadi seorang guru di tengah-tengah keterbatasan tersebut.
“(Karena profesi guru) sudah di sini,” ungkap Frederikus yang tangan kanannya memegang dada kirinya.
Baca Juga: Kenapa Hari Guru Nasional Diperingati Setiap Tanggal 25 November? Begini Sejarahnya
Lukas meminta Pemerintah Indonesia memperhatikan tenaga pengajar di pelosok negeri yang jauh dari kata sejahtera. Apalagi di wilayah perbatasan itu masih banyak tenaga honorer.
“Karena di sini banyak guru honorer. Tentunya pemerintah harus membuka mata. Karena, tanpa guru, dunia bisa mati. Guru yang bisa mencerdaskan bangsa,” katanya.
Senada, “Kebutuhan sangat menuntut, tapi pemerintah kurang memperhatikan, itu kendala kami di situ. Jadi, kami mohon supaya, untuk ke depan, perhatikan guru,” ucap Lukas melanjutkan. Serupa dengan Lukas, Frederikus berharap pemerintah lebih memperhatikan tenaga pendidik. “Anak bangsa ini perlu dididik. Tapi, bagaimana dengan kami yang pendidik? Itu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Terlepas dari hal tersebut, Frederikus juga tetap berharap agar siswanya yang lulus bisa melanjutkan ke jenjang tinggi dan tidak kalah saing dengan anak yang bersekolah di kota.
Sama dengan Frederikus, Aryance tetap optimistis bahwa suatu saat nanti akan ada hal baik untuk semua guru di Indonesia.
“Sampai kapan baru sejahtera, sampai kapan baru dapat yang baik, kami tetap optimis untuk menjalankan tugas seperti biasa,” kata Aryance, dilansir dari Kompas.com yang diunggah pada 21 November 2023..
Ia menegaskan, tak merasa terpaksa menjalani profesinya. Sebab, profesi guru merupakan panggilan jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.