JAKARTA, KOMPAS.TV - Setara Institute mengingatkan publik untuk melihat latar belakang para calon presiden dan wakil presiden dalam menentukan pilihan dalam Pilpres 2024 mendatang.
Termasuk memberi penilaian terkait kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Pemilu mengenai batas usia Capres dan Cawapres di nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 serta putusan Majelis Kehormatan MK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan ketua MK sebagai variabel menentukan pilihan.
Ketua SETARA Institute Ismail Hasani menilai belakangan ini publik seolah disuguhkan dengan normalisasi pelanggaran konstitusi.
Semisal melalui jakak pendapat lembaga survei yang melakukan kampanye publik bahwa langkah Gibran dianggap oleh mayoritas responden bukan politik dinasti.
Bahkan normalisasi pelanggaran Konstitusi juga dilakukan oleh KPU yang menilai Gibran Rakabuming Raka memenuhi syarat sebagai kandidat, meskipun pelanggaran etik berat melekat dalam pengambilan putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 di MK.
Baca Juga: Soal Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, SETARA Institute: MK Promosikan Kejahatan Konstitusional
Begitu juga dengan DPR yang tidak melihat pelanggaran etik dalam putusan MK saat membahas PKPU 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pilpres, yang mengubah syarat usia Capres-Cawapres.
Menurut Ismail nyatanya DPR juga sama, melakukan normalisasi pelanggaran Konstitusi.
"SETARA Institute menolak normalisasi pelanggaran konstitusi dengan tetap mendorong publik peka dan menjadikan kontroversi Putusan 90/PUU-XXI/2023 sebagai variabel dalam menentukan pilihan dalam Pemilu nanti," ujar Ismail dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/11/2023).
Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menambahkan sejumlah tokoh nasional sudah membuat pernyataan secara terbukat mengenai situasi saat ini. Salah satunya soal putusan MK di tengah pencalonan Gibran.
Tidak heran jika Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyebut ada manipulasi hukum yang terjadi, sedangkan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyebut bahwa ada upaya membawa negara dan aparaturnya melayani kepentingan pribadi dan golongan.
Baca Juga: Curhat ke Gus Mus, Benny: Politik Harus Dikembalikan Kepada Moralitas
Selain itu para tokoh bangsa yang berkumpul di kediaman KH Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus Mus di Kelurahan Leteh, Rembang, Jawa Tengah pada Minggu (12/11/2023), menyebut demokrasi telah dinodai.
Dalam petemuan tersebut Omi Komaria Madjid, istri pendiri Universitas Paramadina, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nun) menyebut saat ini korupsi, kolusi dan nepotisme dipertontonkan tanpa malu.
"Jika semua ciri orde baru sudah terakumulasi, maka wajar kecemasan rakyat tentang kebangkitan otoritarianisme bukanlah gosip para aktivis demokrasi atau elit politik," ujar Ismail.
Lebih lanjut Ismail menyatkan Setara Institute mendorong penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu menjadi aktor utama yang menjaga integritas Pemilu sehingga tercipta keadilan elektoral pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Setara Institute menentang segala bentuk intervensi, intimidasi, dan netralitas artifisial yang ditunjukkan oleh beberapa pihak.
Baca Juga: Curhat soal KKN ke Gus Mus, Omi Komaria Khawatir soal Nepotisme Kekuasaan
"Netralitas buatan bukanlah netralitas yang otentik, karena di satu sisi menyerukan netralitas dan menyatakan tidak ada intervensi, tapi di sisi lain tetap membiarkan orkestrasi kandidasi, mobilisasi sumber daya, termasuk tidak melakukan upaya maksimum memastikan keadilan Pemilu," pungkas Ismail.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.