JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa dianggap tidak sah jika terbukti ada benturan kepentingan.
"Satu catatan, kalau nanti terbukti ada benturan kepentingan, sebenarnya ada satu pasal di MK yang bilang, kalau memang ada benturan kepentingan, keputusan itu tidak sah. Itu ada di dalam undang-undang," tegas Bivitri dalam Program Kompas Petang, Kompas TV, Senin (23/10/2023).
Ia tak menjelaskan lebih jauh terkait pasal yang dimaksud. Namun, ia mengingatkan bahwa putusan pengadilan MK adalah upaya hukum terakhir, sehingga langsung bersifat final dan mengikat.
"Kalau putusan pengadilan, itu memang hanya bisa dikoreksi melalui upaya hukum berikutnya, atau upaya hukum yang tersedia, dalam konteks putusan MK memang tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan," jelasnya.
"Langsung final dan mengikat," sambung Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu.
Ia menegaskan, putusan MK tidak bisa diganggu-gugat, kecuali suatu saat ada pihak yang memohon perkara yang sama.
"Sebelum semua proses berlangsung, putusan itu memang tidak bisa diapa-apakan lagi, kecuali nanti suatu saat ada lagi yang memohonkan perkara yang sama," ujarnya.
Baca Juga: Pakar Hukum Tata Negara Tegaskan Pelanggaran Etik Ketua MK dalam Putusan Batas Usia Capres-Cawapres
Terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim MK, Bivitri menerangkan bahwa hal tersebut tak akan mengubah putusan yang sudah diputuskan di dalam pengadilan oleh para hakim MK.
"Yang dipermasalahkan dalam etik adalah, perilaku dari hakim yang memutus perkara itu," kata peraih gelar Master of Laws di Universitas Warwick, Inggris ini.
"Jadi seandainya ditemukan pelanggaran yang sangat berat, itu pun terhadap putusannya tidak akan mengubah apa pun," imbuhnya.
Ia menilai, ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam memutuskan gugatan terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Bivitri menjelaskan, pelanggaran etik yang sangat tampak adalah adanya benturan kepentingan antara Ketua MK Anwar dengan permohonan yang diajukan pemohon mengenai pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang menyebutkan nama Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar.
"Menurut saya ada, karena yang paling kelihatan adalah benturan kepentingan, antara Ketua MK dengan nama yang disebut oleh pemohon di dalam permohonannya, ini permohonan yang dikabulkan, langsung terlihat jelas," tegasnya.
"Orang yang akan mengambil keuntungan, walaupun bukan pemohon, tapi disebut namanya, itu memang keponakan dari Ketua MK, itu yang paling jelas," imbuhnya.
Baca Juga: Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman, Gibran, dan Kaesang Dilaporkan ke KPK Dugaan Kolusi Nepotisme
Hingga Senin (23/10/2023), sudah ada 7 laporan dugaan pelanggaran etik yang tertuju kepada Ketua MK Anwar Usman dalam memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggugat batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam pasal 169 huruf q Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Permohonan itu diajukan mahasiswa asal Kota Solo bernama Almas Tsaqib Birru, yang ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Pasal tersebut melancarkan pencalonan Wali Kota Solo/Surakarta Gibran Rakabuming Raka, yang notabene keponakan Ketua MK Anwar Usman, sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo Subianto.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.