Sikap demikian, kata dia, dapat dilacak antara lain dari putusan Mahkamah Konstitusi 15 tahun 2007, putusan Mahkamah Konstitusi 37, 39 tahun 2010, putuan Mahkamah Konstitusi 49 tahun 2011, dan putusan Mahkamah Konstitusi 56 tahun 2012.
“Bahkan, apabila dibaca kembali putusan Mahkaham Kontitusi nomor 29, 51, 55, tahun 2023, putusan-putuan terdahulu yang berkenaan dengan usia tetap menjadi rujukan utama yang digunakan untuk menolak permohonan 29, 51, 55, tahun 2023.”
“Artinya, kebijakan hukum terbuka merupakan warisan yang telah diikuti dari generasi ke generasi di Mahkamah Konstitusi, dan telah ditempatkan sebagai yuridisprudensi,” teganya.
Oleh karena itu, lanjut dia, kebijakan hukum terbuka tidak bisa secara serampangan dikesampingkan karena sudah menjadi yurisprudensi dan sekaligus doktrin ilmu hukum yang digunakan dalam memutus perkara-perkara Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, kata Saldi, secara doktrin permasalahan yang berkaitan dengan persyaratan usia minimum pejabat negara termauk syarat usia minimum sebagai calon presiden dan wakil presiden dapat dikatakan menjadi bagian dalam doktrin political questions.
“Yaitu permasalahan yang seharusnya diselesaikan dengan keputusan yang diambil oleh cabang-cabang politik pemerintahan lain, in casu presiden dan DPR selaku pembentuk undang-undang, bukan oleh lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi.”
“Doktrin political questions yang dikenal dalam praktik lembaga peradilan ini merupakan konsep yang mengacu pada prinsip bahwa berapa permasalahan atau pertanyaan yang melibatkan keputusan politik atau kebijakan pemerintah seharusnya tidak menjadi domain lembaga peradilan untuk memutusnya,” bebernya.
Sebaliknya, menurut saldi, permasalahan atau pertanyaan tersebut seyogyanya ditangani oleh cabang kekuasaan yang berwenang, seperti ekekutif atau legislatif.
Berkenaan dengan hal di atas, imbuh Saldi, mahkamah sering kali memberikan pertimbangan open legal policy terhadap permasalahan yang tidak diatur secara eksplisit di dalam konstitusi, sehingga sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan dan bukan diputuskan sendiri oleh mahkamah.
Baca Juga: Dissenting Opinion, Saldi Isra: Saya Khawatir MK Terjebak dalam Pusaran Politik
“Oleh karenanya mahkamah sudah seharusnya memegang teguh pada pendekatan ini dan tidak seakan-akan memilah milih mana yang dapat dijadikan open legal policy dan memutusnya tanpa argumentasi dan legal reasoning yang jelas erta berubah-ubah.”
Ia menambahkan, mahkamah juga sudah seharusnya menerapkan judicial restrend dengan menahan diri untuk tidak masuk ke dalam kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan persyaratan batas usia minimum bagi calon presiden dan wakil presiden.
“Hal ini sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan penghormatan kepada pembentuk undang-undang dalam konteks pemisahan kekuasaan negara.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.