JAKARTA, KOMPAS.TV- Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, ada beberapa kejanggalan yang brutal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres.
Pernyataan itu disampaikan Julius Ibrani merespons putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum kepada Kompas.tv, Selasa (17/10/2023).
“Pertama, permohonan seharusnya ditolak sejak awal karena Pemohon tidak memenuhi kriteria dasar yang rasional dan relevan dalam permohonannya,” kata Julius.
“Yakni, tidak punya kepentingan langsung dalam kontestasi Pemilu, baik sebagai Capres/Cawapres atau perwakilan partai yang memenuhi electoral treshold, bukan juga Kepala Daerah atau berpengalaman,” ujarnya.
Baca Juga: PDI-P Panggil Gibran Besok, Tanya Loyalitas hingga Isu Jadi Cawapres untuk Prabowo
Lebih lanjut, Julius membeberkan kejanggalan brutal MK yang inkonsistensi dalam merespons gugatan yang diputuskan.
“Dimana 6 (enam) permohonan lainnya telah ditolak dan tidak melibatkan Ketua MK Anwar Usman. Namun tiba-tiba terlibat dalam Perkara No. 90, Anwar Usman terlibat lalu memutar balik Putusan MK,” ucap Julius.
Tidak hanya itu, kata Julius, kejanggalan yang brutal terlihat dari petitum pemohon perkara No 90.
Menurut Julius, tidak relevan antara frasa usia 40 tahun dan berpengalaman sebagai Kepala Daerah yang harus dimaknai sebaga penambahan frasa (seharusnya Open Legal Policy), bukan pemaknaan frasa.
“Keempat, tidak ada frasa “atau pernah, sedang” dalam Petitum yang diajukan Pemohon, yang artinya Hakim Konstitusi menambahkan sendiri permohonan dan bertindak seperti Pemohon,” ujar Julius.
Menurut Julius, kejanggalan-kejanggalan Putusan MK sebenarnya sudah dapat dianalisis dengan mudah sejak Presiden Jokowi mengubah kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan politik yang despotic sebagaimana teori Montesquieu.
Baca Juga: Pengamat: Indikasi Gibran Mengarah Cawapres Makin Kuat, Bisa Berhadapan dengan PDIP di Pilpres 2024
“Kekuasaan eksekustif yang mengkooptasi kekuasaan politik lain (yudikatif dan legislatif) sehingga menjadi bawahannya dan berada di telapak kakinya, dan harus melulu demi kepentingan eksekutif semata,” kata Julius, mengkritik.
“Terbukti, tidak ada evaluasi dari DPR RI selaku legislatif terhadap kinerja Presiden Jokowi, bahkan kongkalikong mengebiri rakyat lewat kebijakan yang anti-HAM seperti KUHP, UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU PSDN (Komponen Cadangan), dan lainnya yang ditolak di MK,” katanya.
Sebagai informasi, Senin 16 Oktober 2023, MK mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam bunyi putusannya, orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.