a
KOMPAS.TV - Aturan produk tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang sedang dibahas Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dinilai sudah keluar jalur sebagaimana mestinya.
Hal itu dikatakan Anggota DPR RI Mukhamad Misbakhun. Menurutnya, aturan tersebut dapat menganggu keberlangsungan industri hasil tembakau yang jika dibiarkan dapat mengganggu kepentingan nasional.
“Saya menegaskan ini sudah tidak benar. Hadirnya draf RPP ini, sama saja (Kemenkes) ingin menjadi pelaksana dari FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Kalau bapak-bapak perhatikan, semua konsepnya sama. Saya sampai sekarang melarang FCTC diterapkan di Indonesia,” tegasnya saat berbicara pada Sarasehan Ekosistem Pertembakauan yang juga ditayangkan secara virtual baru-baru ini.
Lebih lanjut, menurutnya, FCTC yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia terdiri atas beberapa komponen dalam mengendalikan penggunaan tembakau.
Seperti pelarangan total iklan dan promosi produk tembakau, pengenaan pajak yang tinggi pada produk tembakau, hingga pelarangan merokok di tempat umum.
“Standarisasi (terhadap produk tembakau) yang ada di RPP Kesehatan itu sama. Masa depan IHT (industri hasil tembakau) kita mau ditaruh di mana ini? Mereka ini sebenarnya menunggu momentum UU (Kesehatan) ini digunakan untuk memasukkan agenda FCTC,” ujar Misbakhun.
Baca Juga: Soal Tembakau Disamakan Narkoba di RUU Kesehatan: Anggota DPR Minta Dicabut, Kemenkes Bantah Isu Ini
Belum lagi, lanjut Misbakhun, terdapat klausul lainnya terkait produk tembakau di RPP UU Kesehatan yang dinilai mengherankan, terutama terkait pengaturan penjualan rokok, mulai dari pelarangan penjualan rokok eceran sampai penjualan minimal 20 batang per bungkusnya.
“(Di aturan tersebut) ada larangan display produk, ada larangan penjualan minimal 20 batang. Ini juga yang pusing nanti bea cukai. (Aturan) ini juga akan mempengaruhi industri secara langsung,” sindirnya.
Misbakhun juga menilai Kemenkes sudah melampaui kewenangannya.
“Isi (aturan produk tembakau) di RPP sudah bertentangan dengan payung hukumnya, yaitu UU Kesehatan. RPP itu kan seharusnya melaksanakan, tapi dia mengatur ulang (aturan produk tembakau) dengan menggunakan baju PP. Kalau kemudian ada UU diterjemahkan berbeda dengan RPP-nya ya dilawan,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur Adik Dwi Putranto menilai bahwa proses penyusunan kebijakan tembakau semestinya dilakukan selaras dengan upaya meningkatkan investasi dan industrialisasi.
“Industri hasil tembakau adalah industri yang meliputi hulu sampai hilir, yang saat ini kondisinya sudah menurun. Kondisi ini akan diperburuk dengan aturan zat adiktif tembakau pada RPP yang berdampak pada seluruh ekosistem rokok, petani, industri, pedagang, bahkan hingga industri periklanan,” ucapnya.
Hal senada juga dikatakan Pakar hukum Hikmahanto Juwana. Dia menyatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagai aturan pelaksana Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan harus mempertimbangkan semua aspek.
Saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, lanjut dia, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek.
Dalam kasus pembahasan draf RPP, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor industri hasil tembakau (IHT) nasional, hingga penerimaan negara.
"Isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan," katanya menanggapi draf RPP Kesehatan yang memuat beberapa aturan untuk produk tembakau dikutip dari Kompas.com.
Baca Juga: Ada UU Kesehatan, Polisi Harus Minta Rekomendasi Majelis Independen Kalau Mau Periksa Dokter-Nakes
Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi ini menegaskan, jika draf RPP ini dipaksakan, akan punya implikasi banyak terhadap berbagai peraturan lain baik yang setara atau turunannya.
"Akibatnya, industri hasil tembakau (IHT) nasional bisa mati. Lalu bagaimana dengan nasib petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada tembakau?" katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.