JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Amnesty International, Usman Hamid, buka suara menanggapi kekisruhan penanganan korupsi yang menyeret Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi.
Diketahui, Henri Alfiandi telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan barang di Basarnas hingga mencapai Rp 88,3 miliar sejak 2021 sampai 2023.
Namun, polemik muncul setelah Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI merasa keberatan atas penetapan tersangka Henri yang berstatus prajurit TNI aktif oleh KPK.
Baca Juga: Sebut Langkah KPK Sudah Benar soal Basarnas, Pakar HTN Juanda: Tak Perlu Lagi Minta Maaf
Puspom TNI menilai mestinya Henri Alfiandi diproses hukum oleh mereka, bukan oleh KPK kendati Kepala Basarnas adalah jabatan sipil. KPK pun akhirnya menyerahkan kasus yang melibatkan Henri Alfiandi ke Puspom TNI.
Terkait hal itu, Usman Hamid pun menyoroti Henri yang merupakan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, seharusnya tunduk pula pada hukum sipil.
"Ini menghidupkan kembali status anggota TNI sebagai warga negara kelas satu dan merupakan wujud inkonsistensi kebijakan," kata Usman Hamid, dalam diskusi terbuka sejumlah elemen masyarakat sipil di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (30/7/2023).
"Prajurit TNI aktif boleh duduk di jabatan sipil, tapi ketika korupsi tidak mau tunduk pada hukum sipil. Ini inkonsistensi kebijakan.”
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebetulnya mengatur bahwa jabatan sipil hanya dapat diduduki prajurit yang sudah pensiun atau mundur. Hal itu termaktub dalam Pasal 47 ayat (1).
Baca Juga: Soal Kepala Basarnas Korupsi, TNI Tegaskan Tak Ada Prajurit Kebal Hukum: Semua Tunduk kepada Aturan
Namun, pada ayat (2), UU TNI mengatur ada sejumlah jabatan sipil yang diperbolehkan diisi prajurit aktif, yaitu kantor yang berkenaan dengan politik dan keamanan negara, pertahanan, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (sar) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Namun, itu bukan berarti jabatan itu harus berasal dari unsur tentara. Di samping itu, Pasal 47 ayat (3) beleid yang sama menegaskan bahwa prajurit yang duduk di beberapa lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.
Usman Hamid menegaskan, bahwa Basarnas merupakan lembaga dengan jabatan sipil. Oleh karena itu, kasus hukum yang menjerat pejabat Basarnas semestinya tunduk pada peradilan sipil.
Apalagi, Pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu "berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Pasal 65 ayat (2) UU TNI juga menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer "dalam hal pelanggaran hukum pidana militer".
Baca Juga: Kepala Basarnas Henri Alfiandi Mengaku akan Bertanggung Jawab, Danpuspom TNI: Beliau Gentleman
Sejauh ini, anggapan bahwa Henri Alfiandi harus diproses secara militer berangkat dari Pasal Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Usman Hamid menilai, beleid ini seharusnya sudah dikesampingkan oleh berbagai undang-undang yang lebih baru di atas.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.