JAKARTA, KOMPAS.TV- "Leiden is lijden" (memimpin itu menderita) adalah kalimat yang diucapkan pendiri bangsa KH Agus Salim. Pahlawan nasional yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri pertama itu, meresapi ucapannya. Sepanjang karirnya di dunia politik dan pemerintahan, dia dikenal sebagai sosok yang melarat.
Para muridnya mengenang Salim sebagai pribadi yang humoris meski tak memiliki apa-apa. Rumahnya berpindah-pindah karena harus mengontrak. Konon, sampai akhir hayatnya pada tahun 1954, Salim tak punya rumah.
Makanan kesukaanya nasi goreng kecap dan mentega. Hal itu karena di rumahnya benar-benar tak ada makanan lain.
Baca Juga: Kisah Teladan Agus Salim dan Hatta, Tokoh Bangsa yang Lekat dengan Kesederhanaan hingga Akhir Hayat
Padahal, dialah diplomat yang piawai dalam berdiplomasi dan berargumen di forum internasional. Dalam perjalanan hidupnya, lelaki yang mendapat julukan "The Grand Old Man" karena kefasihan dalam berdiplomasi itu, selalu berpindah-pindah rumah untuk ngontrak.
Mohammad Roem, sahabat sekaligus "anak didik" Salim, pernah menuliskan kenangan pada Salim dalam sebuah catatan berjudul "Haji Agus Salim" yang termaktub dalam buku "Seratus Tahun Haji Agus Salim" (Pustaka Sinar Harapan, 1996).
Pada suatu kesempatan di tahun 1925, Roem dan beberapa sahabat sengaja bertandang ke rumah Agus Salim di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Mereka pergi memakai sepeda.
Sampai Stasiun Senen, jalan sudah diaspal, tetapi seterusnya masih tanah dan banyak berlubang.
"Melalui jalan itu dengan sepeda seperti duduk di perahu di atas air yang berombak," kata Roem. Tanah Tinggi masih kampung yang becek.
Setelah dari Tanah Tinggi, Agus Salim kemudian pindah ke Gang Toapekong, dekat kawasan Pintu Besi, tak jauh dari Gereja Ayam.
"Meski rumahnya tidak kurang besar dari rumah di Gang Tanah Tinggi, tetapi jauh kurang baik," kata Roem.
Hanya ada meja dan kursi di luar, namun di dalam rumah hampir-hampir kosong. Sehingga saat Roem datang, diterima di atas tikar.
Meski dikenal tak punya apa-apa, Salim dan keluarganya selalu terlihat gembira.
"Kami mendapatkan diri dalam suasana gembira, anak-anak yang kami sudah kenal sedang bersenda gurau," kenang Roem.
Tidak mengherankan, bila Prof William Schermerhorn, salah seorang pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, memiliki penilaian khusus tentang sosok Haji Agus Salim.
Menurut dia, Agus Salim adalah sosok orang yang sangat pandai, jenius dan menguasai sembilan bahasa. Tapi dia punya satu kelemahan, "yaitu selama hidupnya melarat," tulis Prof Schermerhorn dalam catatan hariannya, Senin malam 1 Oktober 1946.
Baca Juga: Rusia bakal Bangun Patung Soekarno di Moskow, Kenapa?
Agus Salim, kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat 8 Oktober 1884 itu, wafat di Jakarta 4 November 1954. Dia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah pada 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.