JAKARTA, KOMPAS.TV- Setelah lebih dari setahun setelah disahkan, tepatnya 9 Mei 2022, pemerintah hingga hari ini belum merilis aturan turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Meski dalam UU tersebut memandatkan agar pemerintah membuat aturan turunan dengan tenggat waktu 2 tahun sejak UU tersebut diundangkan, aturan tersebut ditunggu masyarakat luas mengingat saat ini banyaknya kasus kekerasan seksual yang penangannya tidak berkeadilan dan berperspektif korban.
Demikian desakan datang dari sejumlah aktivis yang tergabung dalam tim masyarakat sipil dan serikat pekerja/serikat buruh (TIM CSO), lahir dari kepedulian bersama atas nasib UU TPKS yang disahkan pada 2022 lalu. Tim ini terdiri atas gabungan lembaga, individu yang fokus pada isu-isu perempuan, HAM, pemberdayaan perempuan, dan pendampingan kasus kekerasan seksual.
Baca Juga: RUU TPKS Disahkan, Jaringan Pembela Perempuan Minta Pemerintah Terbitkan PP dan Perpres
Menurut salah satu anggot tim Kustiah, aturan turunan sangat penting untuk memperjelas panduan operasional implementasi UU TPKS bagi aparat penegak hukum dan masyarakat.
"Selain urgensi hadirnya aturan turunan, penting bagi pemerintah mematuhi Pasal 96 UU No 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Perundang-undangan tentang partisipasi publik dalam proses pembentukan aturan perundang-undangan," katanya.
Mengingat pentingnya aturan turunan sebagai mandat UU TPKS, masyarakat sipil, serikat pekerja dan serikat buruh yang tergabung dalam TIM CSO SP/SB Kawal Aturan Turunan UU TPKS menyampaikan beberapa poin penting masukan kepada pemerintah sebagai berikut:
1. Aturan turunan harus memastikan mekanisme pemberian Dana Bantuan Korban (DBK) memperhatikan aspek antara lain, kemudahan akses, memperhatikan kondisi geografis, dan kebutuhan khusus korban. Penting pelibatan lembaga layanan berbasis masyarakat dalam proses penerimaan kasus hingga pemanfaatan Dana Bantuan Korban.
2. Aturan turunan terkait Dana Bantuan Korban (DBK) juga perlu memperhatikan kepentingan penyandang disabilitas dalam hal pembiayaan Dana Bantuan yang membutuhkan dana yang jumlahnya berbeda dari teman-teman bukan disabilitas yang dikenal sebagai extra cost disability di mana keberadaan pendanaan ini sangat penting bagi penyandang disabilitas dalam melanjutkan seluruh proses penanganan, pelindungan, dan pemulihan.
3. Pada pelaksanaan Penilaian Personal bagi Penyandang Disabilitas sebagai korban atau saksi perlu menempatkan penyandang disabilitas sebagai informan pertama dalam pembuatan penilaian personal, dikarenakan disabilitas itu sendirilah yang memahami apa yang menjadi kebutuhannya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.