Untuk mendapatkan banyak suara, seorang caleg harus dekat dengan rakyat. Oleh karena itu, akan terbangun kedekatan antara pemilih dan caleg.
3. Persaingan menggerakkan dukungan massa
Sistem pemilu proporsional terbuka akan mendorong kandidat untuk bersaing dalam memobilisasi dukungan massa demi kemenangan.
4. Terbangun kedekatan antarpemilih
Tak hanya kedekatan antara pemilih dan caleg yang akan dipilih, sistem pemilu proporsional terbuka juga mendekatkan para calon pemilih.
Baca Juga: Duduk Perkara Uji Materiil UU Pemilu di MK Terkait Wacana Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
1. Sangat rawan politik uang
Caleg akan melakukan berbagai cara untuk mendapat dukungan rakyat, termasuk menjalankan politik uang, misalnya dengan membagi-bagikan uang kepada calon pemilihnya.
2. Membutuhkan modal politik yang besar
Caleg perlu datang langsung atau membuat berbagai publikasi agar dikenal rakyat. Hal ini tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit.
3. Sulit menegakkan kuota gender dan etnis
Ukuran popularitas dalam sistem proporsional terbuka menyulitkan penegakan kuota gender dan etnis.
Dalam sistem proporsional tertutup, partai yang akan menentukan calegnya, sehingga pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas lebih mudah.
Sejak tahun 1955 sampai dengan 2021, pemilu sudah dilaksanakan sebanyak dua belas kali, yaitu Pemilu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019.
Usai Reformasi 1998, pemilu telah dilaksanakan sebanyak lima kali, yakni pada tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Pada tahun 2004, pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup. Sedangkan mulai tahun 2009, pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Selain Indonesia, sistem pemilu proporsional terbuka juga diterapkan di sejumlah negara lain, di antaranya Belanda, Belgia, Austria, dan Brasil.
Sumber : Kompas TV/Kompas.com/Bawaslu
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.