"Itu sebabnya, di tengah melemahnya tingkat kepercayaan publik, putusan MK yang tetap konsisten menjadikan sistem pemilu sebagai ranah open legal policy patut diapresiasi," katanya.
Kedua, sambung Fadli, putusan MK ini mengukuhkan pandangan bahwa isu pilihan sistem pemilu, dalam hal ini proporsional terbuka ataupun tertutup, bukanlah termasuk isu konstitusional.
Sebab, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak pernah mengatur tentang sistem pemilu, apakah bersifat proporsional terbuka atau tertutup.
"Penentuan sistem pemilu merupakan isu teknis, bukan isu konstitusional. Ini ranahnya para pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, bukan ranahnya MK untuk ikut menentukan," katanya.
Ketiga, kata dia, ketika keputusan ini diambil, sebagian tahapan pemilu telah dimulai, dan proses administrasi kepemiluan juga sudah berjalan.
Jika sampai sistem pemilu diubah di tengah jalan, lanjut Fadli, bisa menimbulkan kekacauan politik dan ketatanegaraan.
"Kita bersyukur hal itu tak sampai terjadi. Jika sampai terjadi kekisruhan, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya," katanya.
Sebelumnya, MK telah menolak gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Dalam putusannya, MK menyatakan Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
Baca Juga: PDIP Terima Putusan MK Sistem Pemilu Tetap Proporsional Terbuka: Putusan Fenomenal, Harus Kita Akui
Adapun putusan dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Kamis (15/6/2023).
"Berdasarkan UUD RI 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili, dalam profesi menolak permohonan profesi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya" kata Anwar saat membacakan amar putusan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.