JAKARTA, KOMPAS.TV - Konsultan Yayasan Lentera Anak yang juga ahli psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, menegaskan kasus yang menimpa remaja berusia 15 tahun berinisial RO di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, merupakan perkosaan.
Dengan begitu, maka para pelaku kejahatan tersebut dapat dihukum secara maksimal hingga ancaman pidana mati.
"Persetubuhan dengan anak, dalam istilah asing adalah statutory rape. Rape adalah pemerkosaan," kata Reza dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (2/6/2023).
Baca Juga: LPSK Turun Tangan Selidiki Kasus Pemerkosaan Remaja 15 Tahun oleh 11 Pria di Parigi Moutong
Demikian Reza menyatakan hal itu menjawab kerisauan sejumlah pihak terkait dengan pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho yang mengatakan bahwa kasus yang menimpa RO adalah persetubuhan anak di bawah umur, bukan pemerkosaan.
Reza mengakui jika dilihat dari istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, memang kata yang dipakai persetubuhan dan pencabulan. Kosakata pemerkosaan tidak digunakan dalam undang-undang tersebut.
Namun, dia menegaskan bahwa kasus tersebut adalah pemerkosaan karena istilah statutory rape dipakai untuk mempertegas sekaligus membedakannya dengan rape. Pada rape, kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau.
Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan. Hal sedemikian rupa tidak berlaku pada anak-anak.
Kendati anak dianggap berkehendak dan bersepakat, serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat.
Baca Juga: Kondisi Remaja yang Diperkosa 11 Pria Membaik, Ada Kemungkinan Operasi Pengangkatan Rahim Batal
Dengan demikian, apa pun suasana batin anak ketika disetubuhi, serta merta anak disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan.
"Jadi, jangan risau pada diksi yang polisi pakai. Polisi justru berdisiplin dengan istilah yang dipakai dalam UU Perlindungan Anak," ucap Reza.
Reza menuturkan bahwa siapa pun yang menyetubuhi anak tersebut, termasuk oknum anggota Brimob, pasti akan diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Jenis kejahatan seksualnya, lanjut dia, adalah persetubuhan dengan anak atau statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban.
"Terkait dengan nasib pelaku, tidak berat untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada mereka, termasuk hukuman mati. Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian serius," kata Reza.
Baca Juga: Polisi Terduga Pemerkosa Remaja 15 Tahun Ditangkap, Kini Ditahan di Mako Brimob Polda Sulteng
Adapun pemerkosaan yang menimpa RO tersebut terjadi sejak April 2022. Keluarga RO melaporkan kasus itu pada Januari 2023 di Polres Parigi Moutong setelah korban mengalami sakit di bagian perut.
Berdasarkan keterangan korban, pemerkosaan tersebut dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu 10 bulan.
Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho menyebutkan dari 11 laki-laki yang dilaporkan, polisi telah menetapkan 10 tersangka.
Mereka masing-masing berinisial HR 43 yang berstatus sebagai kepala desa di Parigi Moutong, ARH (40) seorang guru SD di Desa Sausu, AK (47), AR (26), MT (36), FN (22), K (32), AW, AS, dan AK.
Sementara itu, MKS yang merupakan oknum anggota Polri masih dalam tahap pemeriksaan dan belum ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan belum cukup bukti.
Baca Juga: Kasus Pemerkosaan Remaja 15 Tahun oleh 11 Pria Diambil Alih Polda Sulteng, 3 Orang Masih Buron
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.