Kompas TV nasional hukum

Pakar Hukum: Mengubah Frasa Putusan sepanjang Dapat Persetujuan Hakim Lainnya Bukan Hal Wajar

Kompas.tv - 24 Maret 2023, 05:30 WIB
pakar-hukum-mengubah-frasa-putusan-sepanjang-dapat-persetujuan-hakim-lainnya-bukan-hal-wajar
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Kamis (23/3/2023). (Sumber: KOMPAS TV)
Penulis : Johannes Mangihot | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pertimbangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan frasa dalam putusan bisa diubah sepanjang mendapatkan persetujuan dari hakim lainnya, dinilai bukan hal yang wajar.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri menjelaskan, sejatinya perubahan frasa dalam putusan bisa dilakukan saat rapat permusyawaratan hakim, bukan saat putusan dibacakan.

Menurutnya, sangat tidak mungkin ada konsultasi saat para hakim konstitusi sudah duduk di ruang sidang.

Apalagi, dalam sidang pembacaan putusan Majelis Kehormatan MK, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah hanya melakukan konsultasi ke Hakim Arief Hidayat, tidak ke seluruh hakim konstitusi.

Baca Juga: Pakar Hukum Nilai Teguran Tertulis Terlalu Ringan untuk Guntur Hamzah, Pelanggar Prinsip Integritas

"Kalau sudah dibacakan atau ketika dibacakan, kan hakim sudah duduk semua di ruangan sidang, jadi bagaimana dikonsultasikan lagi?!" ujar Bivitri di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Kamis (23/3/2023).

Lebih lanjut Bivitri menilai, sanksi teguran tertulis yang diberikan Majelis Kehormatan MK kepada Guntur Hamzah yang terbukti mengubah substansi putusan, dinilai terlampau ringan.

Bivitri menjelaskan, ada tiga jenis sanksi tersedia dalam lingkup kode etik hakim, yakni teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian.

Jika melihat pelanggaran yang dilakukan Guntur Hamzah, Majelis Kehormatan MK seharusnya memberikan saksi pemberhentian.

Baca Juga: Pelantikannya Jadi Hakim MK Diliputi Kontroversi, Guntur Hamzah: Saya Mohon Doa Saja

Sebab, menurut Bivitri, Hakim Guntur telah melanggar prinsip integritas yang menjadi dasar bagi hakim MK. 

"Saya kira dari derajat kesalahannya, karena ini mengubah isi putusan yang dampaknya sangat krusial dan ada konflik kepentingan dari Guntur Hamzah sebagai yang menyuruh, harusnya sanksinya pemberhentian, bukan teguran tertulis," ujar Bivitri.

Sebelumnya, Majelis Kehormatan MK memutus Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah sebagai hakim terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, dalam hal ini bagian dari penerapan Prinsip Integritas.

Putusan dibacakan dalam sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Panel Gedung 1 MK, Senin (20/3/2023).

Baca Juga: Guntur Hamzah Ucap Sumpah Jadi Hakim MK di Depan Jokowi, Ini Profilenya

Perubahan tersebut diakui dan dilakukan oleh Guntur Hamzah sebagai hakim terduga dengan alasan sebagai usul atau saran perubahan terhadap bagian pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.

"Bahwa secara hukum, Hakim Terduga berhak melakukan perbuatan dan sudah merupakan kelaziman yang berjalan bertahun-tahun di Mahkamah Konstitusi, sepanjang mendapatkan persetujuan dari hakim lainnya yang ikut memutus, setidak-tidaknya hakim drafter, terlepas dari soal belum adanya prosedur operasi standar mengenai hal dimaksud," ujar Ketua sekaligus Anggota Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna saat membacakan putusan.

Atas pelanggaran tersebut, M. Guntur Hamzah dikenakan sanksi teguran tertulis sebagai hakim terduga. 


 

 



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x