JAKARTA, KOMPAS.TV – Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel turut menanggapi kasus Bripka Madih, anggota polisi yang melapor sebagai korban pemerasan sesama anggota polisi lainnya.
Pernyataan Bripka Madih yang mengatakan dirinya akan mengungkap dan membongkar, mengingatkan Reza pada istilah whistleblowing.
“Kalimatnya 'ane ungkap, ane bongkar, ane ungkap' mengingatkan saya pada istilah whistleblowing. Whistleblowing itulah yang perlu disuburkan di internal kepolisian,” tutur Reza Indragiri dalam penjelasannya yang diterima KOMPAS.TV, Minggu (5/2/2023).
“Karena, siapa yang paling mungkin mengetahui adanya penyimpangan oleh personel polisi, kalau bukan sesama personel polisi sendiri.”
Meski demikian, Reza menyatakan berat menjadi seorang whistleblower. Bahkan, ia menggambarkan, 80 persen orang akan menolak buka-bukaan karena khawatir adanya pembalasan.
“Baik serangan balik dari orang yang bikin skandal maupun pembalasan dari lembaga tempatnya bekerja,” tegas dia.
Baca Juga: Bripka Madih Berencana Mundur dari Anggota Polri, Kecewa Banyak Calo Polisi Ganggu Hak Orangtuanya
Sebagai bahan perbandingan, Reza mengajak untuk mengecek data Propam Polri, tentang berapa banyak sanksi kasus penyimpangan yang diawali dengan laporan dari internal Polri.
“Dari seluruh personel yang dijatuhi sanksi karena melakukan penyimpangan, berapa banyak yang kasusnya bermula dari laporan sesama personel Polri? Perkiraan saya, amat-sangat sedikit. Bahkan mungkin tidak ada.”
Whistleblower, lanjut Reza, juga sering kali dinarasikan sebagai pekerja yang buruk, kemudian dicari aibnya.
“Disimpulkan, whistleblower ungkap penyimpangan sebagai cara untuk menutup-nutupi kesalahannya,” kata Reza.
Padahal, kata dia, berdasarkan hassil studi, kebanyakan whistleblower justru punya potensi kerja yang baik dan komitmen yang tinggi pada organisasi.
'Kelemahan' mereka, menurut Reza, cuma satu, yakni menolak ikut arus, menentang kode senyap, yang kadung marak di dalam organisasi.
“Kasus yang dilaporkan Bripka Madih, karena sudah meledak di medsos, boleh jadi besok akan tuntas tertangani.”
“Tapi bagaimana dengan nasib Madih sendiri? Seberapa jauh dia sanggup terus bekerja sebagai personel polisi? Dan selama apa pula satuan wilayah masih betah mempertahankan 'duri dalam daging'?” lanjutnya.
Reza Indragiri juga berpendapat, Bripka Madih yang menjadi whistleblower dan Richard Eliezer yang menjadi justice collaborator, menunjukkan adanya polisi berpangkat rendah, namun lebih mengedepankan ketaatan pada sumpah jabatan ketimbang kesetiakawanan pada subkultur menyimpang.
Reza menambahkan, perilaku whistleblowing berhubungan dengan tiga pola kepemimpinan organisasi.
Pertama, kepemimpinan transformasional yang mendorong anggota dan sistem untuk berubah.
“Kedua, kepemimpinan lassez-faire alias pasif, membiarkan, dan cenderung menghindari tanggung jawab,” tuturnya.
Baca Juga: IPW: Daripada Periksa Pelanggaran Bripka Madih, Mending Telusuri Dugaan Pemerasan Oknum Penyidik
Ketiga, kepemimpinan otentik, yakni pimpinan menjadikan dirinya sebagai role model atas segala nilai kebaikan yang ingin dia suburkan.
“Silakan Polri evaluasi sendiri, saat ini pola kepemimpinan apa yang sedang berlangsung di internalnya.”
“Di situlah akan diperoleh jawaban mengapa Eliezer dan Madih tiba-tiba muncul meniup peluit mereka dengan senyaring-nyaringnya,” imbuh Reza Indragiri.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.