Padahal, kata dia, berdasarkan hassil studi, kebanyakan whistleblower justru punya potensi kerja yang baik dan komitmen yang tinggi pada organisasi.
'Kelemahan' mereka, menurut Reza, cuma satu, yakni menolak ikut arus, menentang kode senyap, yang kadung marak di dalam organisasi.
“Kasus yang dilaporkan Bripka Madih, karena sudah meledak di medsos, boleh jadi besok akan tuntas tertangani.”
“Tapi bagaimana dengan nasib Madih sendiri? Seberapa jauh dia sanggup terus bekerja sebagai personel polisi? Dan selama apa pula satuan wilayah masih betah mempertahankan 'duri dalam daging'?” lanjutnya.
Reza Indragiri juga berpendapat, Bripka Madih yang menjadi whistleblower dan Richard Eliezer yang menjadi justice collaborator, menunjukkan adanya polisi berpangkat rendah, namun lebih mengedepankan ketaatan pada sumpah jabatan ketimbang kesetiakawanan pada subkultur menyimpang.
Reza menambahkan, perilaku whistleblowing berhubungan dengan tiga pola kepemimpinan organisasi.
Pertama, kepemimpinan transformasional yang mendorong anggota dan sistem untuk berubah.
“Kedua, kepemimpinan lassez-faire alias pasif, membiarkan, dan cenderung menghindari tanggung jawab,” tuturnya.
Baca Juga: IPW: Daripada Periksa Pelanggaran Bripka Madih, Mending Telusuri Dugaan Pemerasan Oknum Penyidik
Ketiga, kepemimpinan otentik, yakni pimpinan menjadikan dirinya sebagai role model atas segala nilai kebaikan yang ingin dia suburkan.
“Silakan Polri evaluasi sendiri, saat ini pola kepemimpinan apa yang sedang berlangsung di internalnya.”
“Di situlah akan diperoleh jawaban mengapa Eliezer dan Madih tiba-tiba muncul meniup peluit mereka dengan senyaring-nyaringnya,” imbuh Reza Indragiri.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.