JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah Jokowi akhirnya mengakui telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kategori berat di Tanah Air. Ada 12 pelanggaran HAM berat, mulai dari Peristiwa 1965-1966, Kerusuhan Mei 1998, hingga Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
"Dengan pikiran jernih dan hati yang tulus sebagai Kepala Negara, saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu," kata Jokowi di Istana Negara, Rabu (10/11/2023).
Dari 12 peristiwa, salah satunya adalah Peristiwa Talangsari, Lampung pada 1989. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari telah menewaskan 130 orang, 77 orang diusir secara paksa, 53 orang haknya dirampas, dan 46 orang disiksa.
Baca Juga: Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Amnesty: Tanpa Pertanggungjawaban Hukum, Tiada Artinya
Kompas.com menuliskan, awal mula kejadian pada masa Orde Baru berlaku penerapan asas tunggal Pancasila sebagai manifestasi Undang-Undang No. 3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya.
Sejak aturan itu ditetapkan, seluruh organisasi masyarakat wajib mengusung asas Pancasila, termasuk untuk ormas keagamaan. Jika ormas tidak mengusung asas Pancasila, maka ormas tersebut dicap menganut ideologi terlarang yang akan membahayakan negara.
Cara yang dibuat pemerintah terhadap pihak yang tidak mengakui asas tunggal Pancasila, adalah dengan aksi kekerasan.
Hal inilah yang terjadi pada kelompok kecil bernama Usroh yang diketuai Abdullah Sungkar.
Kelompok Usroh ini diburu oleh pemerintah Orde Baru, hingga membuat mereka melarikan diri ke Lampung. Di Lampung, Usroh bergabung dengan pengajian Warsidi yang merupakan petani sekaligus guru ngaji. Kedua kelompok ini bergabung karena memiliki tujuan yang sama, yaitu mendirikan kampung kecil untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Namun sebelum peristiwa terjadi, beberapa provokasi oleh aparat sudah terjadi. Misalnya, Minggu, 22 Januari 1989, Sukidi (Kadus Talangsari III), Serma Dahlan AR, dan beberapa orang aparat keamanan mendatangi perkampungan dan masuk ke Mushola Al Muhajirin tanpa membuka sepatu. Di sana mereka mencaci maki, mengumpat, bahkan mengacungkan senjata api dan menantang para jemaah.
Sekitar 10 orang jemaah menahan diri untuk tidak terpancing, dan setengah jam kemudian aparat pergi karena tidak mendapatkan respons dari jemaah.
Lalu, pada 1 Februari 1989, Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat untuk Komandan Koramil Way Jepara, Kapten Soetiman. Ia menyampaikan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang dimaksud oleh Kepala Dukuh adalah Warsidi dan kelompoknya, yang jumlahnya hanya 10 orang, yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, di Lampung Tengah.
Sebagai tindak lanjut, pada 6 Februari 1989, melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dipimpin oleh Kapten Soetiman, Warsidi dan pengikutnya dimintai keterangan.
Rombongan dari Kantor Camat Way Jepara berangkat menuju kompleks kediaman Anwar, salah satu pengikut Warsidi. Rombongan yang berangkat berjumlah sekitar 20 orang, dipimpin oleh Kepala Staf Kodim Lampung Tengah May Sinaga, termasuk Kapten Soetiman.
Sesaat setelah Kapten Soetiman sampai di sana, ia langsung dihujani panah dan perlawanan golok.
Dalam bentrokan ini, Kapten Soetiman tewas. Tewasnya Kapten Soetiman lantas membuat Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono bertindak keras melawan Warsidi.
Tak tanggung-tanggung, pada 7 Februari 1989, tiga peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu Cihideung, pusat gerakan.
Dalam tempo singkat, menjelang subuh, keadaan di lokasi sudah berhasil dikuasai oleh aparat, yang mengepung dan menyerbu perkampungan dengan posisi tapal kuda. Terjadi penyiksaan terhadap masyarakat dan pembakaran rumah dan pondok. Jemaah yang masih selamat kemudian dipenjara. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi berhasil ditangkap.
Dua belas tahun kemudian, pada 23 Februari 2001, tim penyelidikan dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999. Komnas HAM pun turun ke lapangan pada Juni 2005, dan menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat.
Setelah Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan, berkas diserahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, laporan tersebut ditolak oleh Kejaksaan Agung karena dianggap kurang ada bukti formil dan materiil.
Setelah lama tak terdengar, saat hiruk pikuk jelang Pilpres, 20 Februari 2019, terjadi deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penangan Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Deklarasi ini dilakukan di Dusun Talangsari, Lampung Timur, dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu. Isi dari deklarasi tersebut adalah agar korban Talangsari tidak lagi mengungkap kasus tersebut karena telah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung.
Baca Juga: Mahfud MD Bahas Pelanggaran HAM Berat 1965 dengan Kiai dan PBNU, Upayakan Pemulihan Hak Korban
Namun, banyak korban masyarakat sipil yang menolak. Alasanya, kompensasi yang diberikan bukan kompensasi khusus untuk orang-orang yang menjadi korban dalam Peristiwa Talangsari. Korban yang ada dalam Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian Talangsari Lampung didampingi oleh Kontras dan Amnesty International Indonesia melaporkan perihal deklarasi tersebut pada Ombudsman Republik Indonesia.
Hasilnya, 13 Desember 2019, Ombudsman mengumumkan bahwa deklarasi damai Talangsari dinyatakan maladministrasi. Dengan demikian, para korban Talangsari masih harus berjuang memperoleh haknya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.