JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Presiden (Wapres) RI Ma'ruf Amin mengakui tidak mudah untuk membuat semua pihak sepakat dalam merumuskan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang.
Namun, Wapres menyatakan, pemerintah telah melakukan pembahasan bersama DPR dan ahli hukum untuk membuat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang murni dibuat oleh anak bangsa.
Selama ini, KUHP yang dipakai masih mengadopsi hukum Belanda. Dan, 59 tahun sudah pembahasan tentang RKUHP ini tertahan di DPR.
Wapres meminta para pihak yang tidak sepakat dengan KUHP baru, tak perlu meluapkan kemarahan dan kebencian dengan aksi demonstrasi.
"Tidak perlu ada semacam marah-marah dan kebencian," ujar Wapres Ma'ruf Amin usai menghadiri pembukaan Mukernas I Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Baca Juga: RKUHP Resmi Disahkan, Menkumham Yasonna: Kita Terlalu Lama Pakai Produk Kolonial!
Ma'ruf Amin berharap, pihak yang masih belum sepakat terhadap pasal-pasal di KUHP agar mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Memang tidak mudah sepakat semua dalam satu hal. Yang belum sepakat, bisa judicial review. Saya kira wajar saja kalau ada yang belum sepakat," imbuh Wapres Ma'ruf Amin.
Sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menjadi undang-undang.
Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna ke-11 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023, Selasa (6/12/2022).
Baca Juga: Penjelasan Istana Soal Perzinaan Bukan Suami Istri Kena Pidana di KUHP Baru
Sejumlah demonstrasi dan penolakan terjadi di tengah pengesahan RKUHP. Lantaran, masih ada pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
Misalnya, Pasal 2 KUHP baru soal hukum yang hidup di masyarakat, yang disebut bisa mendorong pemerintah daerah untuk membuat peraturan yang bersifat diskriminatif.
Pasal 411 KUHP mengenai persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya pula dianggap akan membawa dampak negatif bagi sektor pariwisata dan investasi.
Kemudian pasal soal menyerang harkat martabat presiden dan wakil presiden, serta pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, dinilai telah membatasi kritik dan hak berpendapat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.