DENPASAR, KOMPAS.TV – Pencatutan nomor induk kependudukan (NIK) oleh partai politik calon peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 terjadi secara masif di Bali, bahkan ada NIK milik TNI/Polri.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali Dewa Agung Gde Lidartawan, membenarkan adanya pencatutan NIK tersebut.
Menurutnya, pencatutan itu diketahui berdasarkan hasil verifikasi administrasi dan faktual yang dilakukan KPU Bali terhadap keanggotaan partai-partai politik calon peserta pemilu.
"Itu memang masif terjadi di Bali, itu juga, ratusan. Ada (yang dicatut) dari PNS, TNI/Polri itu juga ada," ujar Dewa kepada wartawan di kantornya, Sabtu (5/11/2022), dikutip dari Kompas.com.
Baca Juga: Bawaslu Kabulkan Sebagian Gugatan 5 Partai Calon Peserta Pemilu 2024 Lawan KPU, Ini Putusannya
Pihaknya, ungkap dia, menerima sejumlah aduan dugaan pencatutan melalui situs infopemilu.kpu.go.id.
Bahkan, aduan juga datang dari sejumlah ASN, setelah pihaknya mengimbau badan kepegawaian di provinsi maupun kota/kabupaten agar para abdi negara mengecek status mereka di situs itu.
Sebab, ASN memang dilarang menjadi anggota partai politik.
"Sudah melapor ke kami dan sudah kami proses," lanjutnya.
Petugas juga menemukan hal yang sama saat tahap verifikasi faktual.
"Bahkan ada yang mencak-mencak kenapa ini KTP saya (dicatut), tidak mungkin saya, termasuk yang bukan PNS pun (dicatut)," ujar Dewa.
Pihaknya pun menjelaskan, mereka yang NIK-nya dicatut harus menandatangani surat pernyataan bahwa mereka tidak pernah menjadi anggota partai politik yang bersangkutan.
Nantinya, surat pernyataan ini akan menjadi alat bagi KPU menetapkan keanggotaan yang diklaim partai politik sebagai "tidak memenuhi syarat".
Namun, ada beberapa warga enggan menandatangani hal tersebut, seperti di Kabupaten Badung.
Ketua KPU Badung, I Wayan Semara Cipta, juga mengakui hal itu.
"Kami sudah menyampaikan, 'Pak, kalau Bapak menyatakan tidak sebagai anggota parpol ini ada surat pernyataannya'. 'Oh harus tanda tangan ya, oh enggak usah lah biarin lah'," ujar Wayan kepada wartawan.
Baca Juga: Pemilu 2024 Masuk 10 Isu Strategis Bahasan Muktamar ke-48 Aisyiyah,
Dewa menduga keengganan semacam itu mungkin dipicu ketakutan atas intimidasi.
"Kalau biasanya yang seperti itu mungkin ada intimidasi.”
“Mungkin dia tidak mendukung, tapi karena takut diintimidasi, dia tidak mau tanda tangan surat pernyataan. Di Bali ada lah, tapi kecil," ungkap Dewa.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.