JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati sebagai tersangka korupsi dugaan suap terkait pengurusan perkara di MA, Jumat (23/9/2022).
Sudrajad bersama lima orang lainnya dari MA diduga menerima suap dari empat orang tersangka untuk mengkondisikan putusan sesuai dengan keinginan pemberi suap.
Penangkapan dan penetapan tersangka Hakim Agung Sudrajad tersebut menambah panjang daftar hakim yang terjerat kasus korupsi.
Baca Juga: Daftar Panjang Hakim-hakim yang Terjerat Kasus Korupsi, dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung
Akan tetapi, ada juga hakim agung MA yang terkenal jujur maupun getol membasmi korupsi.
Tiga mantan hakim agung MA, yakni Bismar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, dan Artidjo Alkostar setidaknya patut dijadikan panutan para hakim di Indonesia.
Bismar Siregar merupakan profesor hukum yang lahir di Tapanuli Selatan pada tanggal 15 September 1928.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini menjadi hakim agung MA di masa pemerintahan Presiden Soeharto atau Orde Baru.
Prof Bismar memulai karir sebagai hakim pada tahun 1961 di Pengadilan Negeri (PN) Pangkal Pinang Bangka.
Melansir dari situs resmi MA, sebagai seorang hakim Pak Bismar tegas menurunkan palu, tiada ampun bagi pemerkosa dan tiada ampun bagi penyelundup ganja.
Ia juga selalu menjunjung tinggi asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas manfaat.
Ia menomorsatukan hukum iman dan Pancasila sebagai sumber dan filsafat hukum penentu kepastian hukum yang adil, sedangkan hukum formal nomor dua.
Menurut mantan Ketua MA Harifin Andi Tumpa, Bismar merupakan hakim yang religius dan progresif.
Bismar, kata Harifin, juga banyak menyumbangkan ide-ide untuk pembaharuan pengadilan.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Satjipto Raharjo, Pak Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya ketika memutus suatu perkara untuk tahu apakah orang yang akan divonis jahat atau tidak.
Setelah itu, lanjut Satjipto, Bismar baru mencari pasal hukum untuk mendasari putusannya.
Tak hanya hati nurani dan undang-undang, putusan yang dikeluarkan oleh Bismar juga berpatok pada ajaran dan kitab suci serta agama terdakwa.
Bismar yang dijuluki Si Pendekar Hukum itu telah berpulang pada tanggal 19 April 2012 di rumah sakit Fatmawati dalam usia 84 tahun.
Baca Juga: Profil Hakim Agung Sudrajad Dimyati Tersangka Korupsi Suap Pengurusan Perkara di Mahkamah Agung
Banyak orang menilai Artidjo Alkostar adalah sosok ideal hakim yang langka di Indonesia.
Melansir dari Kompas.id, Artidjo bukan hanya hakim yang menegakkan hukum, tetapi juga keadilan.
Komitmennya dalam memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa sangat tinggi.
Selama kiprahnya sebagai hakim agung, Artidjo memperberat vonis sejumlah koruptor di tingkat kasasi.
Koruptor yang merasakan vonis Artidjo di antaranya politikus Partai Demokrat Angelina Sondakh, bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, bekas Kakorlantas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, dan bekas Gubernur Riau Annas Maamun.
Artidjo menampik anggapan bahwa putusan-putusan itu sekadar supaya terlihat beda dan memberatkan.
Ia menjelaskan, putusan itu selalu dilakukan melalui pertimbangan hukum yang detail.
"Putusan saya, paling tidak, ada pertimbangan hukumnya sampai detail. Saya ini advokat dulu, dan saya tahu betul metode membaca berkas-berkas ini, serta bergumul dengan bagaimana caranya banding atau kasasi,” ungkapnya.
Ia juga sering dijuluki Algojo Koruptor. Namun Artidjo tak sependapat dengan julukan itu.
”Saya bukan algojo. Saya penegak hukum yang konsisten. Konsisten dengan aturan hukum yang berlaku. Jadi, hukum itu memutus demi keadilan dan kebenaran,” katanya.
Artidjo memandang korupsi sebagai kejahatan yang merusak negara, masa depan bangsa, dan berdampak multidimensi.
Lebih-lebih jika yang korupsi adalah orang yang memiliki kekuatan politik.
Ketua Umum Peradi Luhut MP Pangaribuan mengatakan, Artidjo adalah sosok hakim yang berintegritas.
Saat menjabat sebagai hakim agung, dia sengaja menempel tulisan pengumuman di depan ruang kerjanya.
Pengumuman itu bertuliskan siapa saja pihak yang sedang beperkara di MA tidak boleh masuk ke ruang kerjanya.
Cara itu dilakukan agar pihak-pihak yang beperkara tidak datang menemui dan memengaruhinya saat sedang menangani perkara.
Direktur LBH Yogyakarta (1991-2001) Budi Santoso mengungkapkan, saat Artidjo menjadi advokat, ia selalu menjaga jarak dengan pengacara lain dan hakim.
Di sisi lain, pengacara lain justru malah terlihat begitu akrab dengan hakim.
Saat tiba di pengadilan, Artidjo tidak pernah mau duduk di ruangan yang disediakan untuk pengacara.
Budi pun menilai Artidjo sebagai orang yang tidak berkompromi dengan pihak manapun.
Sementara itu, menurut sahabat Artidjo, Suparman, saat awal menjabat sebagai hakim agung, Artidjo mengontrak di sebuah rumah sederhana di Kwitang, Jakarta Pusat.
Artidjo pernah beberapa tahun tidak mendapatkan rumah dan mobil dinas sehingga saat pergi ke kantor, dia harus mengendarai bajaj.
Setelah memiliki tabungan yang cukup, dia membeli sebuah mobil kecil berwarna hijau.
Namun, hal itu tidak mengurangi profesionalitas dan melemahkan integritasnya sebagai penegak hukum.
Menurut Luhut, Artidjo justru telah memiliki syarat kejujuran, kesederhanaan, dan integritas sejak sebelum menjadi pejabat publik.
Gaya hidupnya tidak lebih besar daripada gaji yang dia peroleh dari negara.
Setelah pensiun dari hakim agung, Artidjo menjabat sebagai Pengawas KPK.
Artidjo Alkostar meninggal dunia pada Minggu, 28 Februari 2021.
Menurut para kerabat, ia telah lama mengidap penyakit jantung dan paru-paru.
Baca Juga: Pesan Mahfud MD untuk KPK yang OTT Hakim Agung: Harus Profesional, Tidak Boleh Cari-cari Kesalahan
Mantan Hakim Agung yang pernah menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana Umum Adi Andojo Soetjipto dikenal sebagai hakim yang lurus dan berani.
Adi Andojo dipandang sebagai sosok hakim yang jujur, tegas, dan konsisten. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro.
Melansir dari Kompas.id Andi menilai, Adi Andojo sebagai salah satu teladan dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Sebab, Adi Andojo dipandang sebagai sosok hakim yang jujur, tegas, dan konsisten.
Andi menilai, melalui putusan-putusannya, juga melalui surat edaran MA mengenai aturan pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Adi Andojo telah memberikan warna yang baik.
Integritas Adi Andojo tak hanya tampak ketika memutus perkara, namun juga dalam sikap dan tindakannya ketika melihat kecurangan yang terjadi di tubuh MA.
Pada 1996, muncul tudingan kolusi di lembaga peradilan tertinggi dalam kasus Gandhi Memorial School senilai Rp 1,4 miliar. Meski sudah menjadi isu lama, tudingan itu mencuat ketika majalah Forum Keadilan saat itu melaporkan, adanya surat berkategori ”rahasia” dari Ketua Muda Bidang Hukum Pidana Umum, Adi Andojo Soetjipto, kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang menganjurkan agar Kejari Jakpus melakukan upaya hukum peninjauan kembali.
Anjuran tersebut diberikan karena ada kolusi antara terdakwa Ram Gulumal alias V Ram yang memakai pengacara mantan hakim agung dan hakim agung yang menyidangkan kasus tersebut. Kemudian terdakwa V Ram diputus bebas murni oleh Mahkamah Agung.
Akibat dari persoalan tersebut, saat itu, Ketua MA Soerjono justru berencana mengirim surat usulan kepada Presiden Soeharto selaku Kepala Negara untuk memberhentikan Adi Andojo Soetjipto sebagai hakim agung di lingkungan MA.
Dalam biografinya, Menjadi Hakim yang Agung (2017), Adi Andojo menuliskan, usahanya untuk memberantas kolusi di MA pada 1996 itu bukan sekadar mencari popularitas murahan.
Sebaliknya, hal itu merupakan keinginan yang sungguh-sungguh timbul dari hati sanubari yang terdalam.
”Untuk mencegah agar boroknya MA tidak semakin membusuk sehingga penegakan hukum di dalamnya semakin menjadi illusoir (ilusi),” kata Adi Andojo.
Menurut Adi Andojo, kolusi dapat diberantas ketika ada kebulatan tekad dari pimpinan. Pimpinan pun harus dapat dijadikan panutan, baik moralnya, ketegasannya, maupun keberaniannya.
”Pengadilan adalah tempat orang mencari keadilan. Akankah lembaga ini kita biarkan menjadi tempat orang mempermainkan keadilan dan kita biarkan ini terus berlarut-larut?” ujarnya di Harian Kompas 19 Februari 1996.
Akibat dari sikapnya itu, Adi Andojo sempat dijauhi oleh para hakim, khususnya di lingkungan MA. Meski demikian, tidak sedikit hakim yang memberikan dukungan, khususnya oleh hakim yang berada di daerah.
Pada Hari Ulang Tahun Ke-52 harian Kompas pada 2017, Adi Andojo Soetjipto menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi dari Kompas.
Dalam biografinya, Adi Andojo mengatakan, ia pasrah jika ada orang yang menyebutnya sebagai ”cermin integritas hakim”.
Namun, baginya, ia sebenarnya hanya ingin menjadi hakim yang baik dengan meneladani sang ayah, Mas Soetjipto Wongsoadmodjo, pensiunan Ketua Pengadilan Negeri Bojonegoro, Jawa Timur, yang ia gantikan.
Istri Adi Andojo, Tuti Sirdariati, mengungkapkan bahwa suaminya itu tak mengizinkan anak-anaknya menggunakan mobil dinas, misalnya untuk ke sekolah meskipun diantar sopir.
"Mobil dinas itu, menurut Bapak, ya untuk urusan dinas saja,” kata Tuti, dilansir dari Harian Kompas, 28 Juni 2017.
Adi mengembuskan napas terakhir pada Rabu 12 Januari 2022 karena sakit.
Sumber : Kompas TV, Kompas.id, mahkamahagung.go.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.