JAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus dugaan korupsi pembelian helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di TNI AU yang diselidiki KPK sejak 2017 lalu dalam waktu dekat akan disidangkan.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan tim jaksa telah menerima penyerahan tersangka kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh atau John Irfan Kenway dan barang bukti dari tim penyidik pada Selasa (20/9/2022).
Penyerahan tersangka dan barang bukti tersebut setelah jaksa menilai kelengkapan berkas perkara sudah terpenuhi dan tercukupi.
Baca Juga: Kronologi Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU yang Rugikan Negara Rp224 Miliar
"KPK segera buktikan di persidangan perkara pengadaan Heli AW-101," ujar Ali dalam pesan tertulisnya, Rabu (21/9).
Ali Fikri menambahkan saat ini tim JPU sedang menyusun surat dakwaan tersangka dalam waktu 14 hari kerja. Setelah rampung, dakwaan bakal diserahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor).
KPK juga memperpanjang penahanan Irfan Kurnia Saleh selama 20 hari ke depan sampai 9 Oktober 2022 di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih.
Tersangka Irfan Kurnia Saleh merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG) menjadi tersangka tunggal dalam kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017.
Baca Juga: Hakim Tolak Praperadilan Dugaan Korupsi Helikopter AW-101, KPK: Ini Momentum Pengusutan Perkara
Irfan diduga membuat negara merugi Rp224 miliar dalam kasus ini. Kontrak pengadaan Helikopter AW-101 mencapai Rp738,9 miliar.
Atas perbuatannya Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Pada Mei 2015, Irfan bersama Lorenzo Pariani (LP), salah satu pegawai perusahaan AW, menemui Mohammad Syafei (MS) yang saat itu menjabat sebagai Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI AU berpangkat Marsekal Muda TNI di Markas Besar TNI AU Cilangkap, Jakarta Timur.
Baca Juga: Usut Dugaan Korupsi Heli AW 101, KPK Periksa Mantan KSAU
Dalam pertemuan itu, terdapat pembahasan di antaranya terkait pengadaan helikopter AW-101 dengan konfigurasi VIP/VVIP TNI AU.
Di lingkungan TNI AU, hanya ada satu skuadron udara yang memiliki armada dalam konfigurasi VIP/VVIP, yaitu Skuadron Udara 17 VVIP, yang kemudian organnya dimekarkan menjadi Skuadron Udara 45 VVIP, khusus helikopter angkut kepresidenan.
Tersangka Irfan Kurnia yang juga salah satu agen AW, diduga memberikan penawaran harga pada Mohammad Syafei dengan mencantumkan harga satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS, sedangkan harga pembelian yang disepakati Irfan dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 39,3 juta dolar AS.
Selanjutnya, pada November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap pra-kualifikasi dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek.
Hal itu tertunda karena ada arahan Pemerintah untuk menunda pengadaan tersebut karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional.
Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti dua perusahaan.
Dalam tahapan lelang itu, KPK menduga panitia lelang melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan.
Harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran pada 2015, yakni senilai 56,4 juta dolar AS, dan disetujui pejabat pembuat komitmen (PPK).
Baca Juga: KPK Blokir Rekening Bank Rp139,4 M terkait Kasus Pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU
Irfan juga diduga aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy (FA) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK).
Terkait persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, Irfan diduga menyiapkan dan mengkondisikan dua perusahaan miliknya untuk mengikuti proses lelang dan disetujui PPK.
Irfan juga diduga telah menerima 100 persen pembayaran. Faktanya, ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
KPK menduga perbuatan tersangka Irfan Kurnia Saleh mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.