TEMANGGUNG, KOMPAS.TV – Bangunan lawas atau kuno sering kali menarik untuk dikunjungi, termasuk sejumlah rumah berarsitektur oriental di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Kabut tipis khas daerah lereng gunung masih terlihat ketika warga setempat beraktivitas pagi itu.
Sinar matahari pun belum terlalu menyengat saat sejumlah orang mengunjungi salah satu bangunan lawas di Kecamatan Parakan, Kamis (1/9/2022).
Tembok luar rumah itu terlihat hampir sama dengan beberapa rumah lain di tempat itu, berwarna putih memanjang seperti benteng.
Satu pintu kayu berwarna hitam kusam menjadi jalan masuk ke dalam bangunan lawas tersebut, ukurannya sekitar 1,5x2 meter.
Jika dilihat dari luar, tidak ada yang istimewa pada bangunan itu, jauh dari kesan mewah atau menarik.
Saat pintu kayu terbuka, halaman yang cukup luas menyambut siapa saja yang datang. Bangunan rumah bergaya Tiongkok kuno berdiri kokoh menghadap ke selatan.
Pagi itu cuaca cukup cerah, sehingga sebagian tubuh Gunung Sumbing di kejauhan terlihat cukup jelas.
Di sebelah kanan atau sisi timur halaman, terdapat satu bangunan lain yang lebih kecil daripada bangunan utama. Pintunya juga berwarna hitam, dengan tulisan aksara Tiongkok berwarna sama berlatar merah.
Saat memasuki bangunan utama, empat tiang kayu hitam berdiri kokoh di tengah bangunan, seperti membantu tembok di kiri dan kanan menyangga atap rumah.
Di samping salah satu tiang, terdapat sebuah kursi malas berbahan kayu. Sementara, tepat di samping kiri pintu masuk bangunan utama, ada satu meja kayu.
Saat kaki melangkah melewati pintu utama, satu set kursi kuno berbahan kayu ukir dengan alas duduk dari marmer menjadi salah satu barang yang menarik perhatian.
Baca Juga: Wisata Bunga & Tanaman Hias Di Desa Penglipuran
Selain itu, dua foto lawas dan sejumlah ornamen bertuliskan huruf Tiongkok semakin menguatkan sensasi masa lalu di tempat itu.
Rumah kuno itu dikenal sebagai Rumah Marga Tjiong, satu dari lima bangunan lawas bergaya oriental yang boleh dikunjungi oleh wisatawan.
Kelimanya adalah rumah Marga Tjiong, Museum Peranakan Tionghoa, Rumah Ban The, Rumah Abu, dan Rumah Louw Djing Tie.
“Sebetulnya bukan rumah Louw Djing Tie, tapi pendekar Louw Djing Tie pernah tinggal di situ, jadi masyarakat lebih mengenalnya rumah Louw Djing Tie,” kata Titis Wibowo, humas Pusat Informasi Pariwisata Parakan (PIPPA).
Sebagian orang mengenal Rumah Marga Tjiong dengan nama rumah candu. Sebab, konon dulunya rumah itu merupakan tempat peredaran candu.
“Rumah Candu adalah rumah Marga Tjiong tadi,” lanjut Titis.
Selain Rumah Marga Tjiong, rumah kuno Tionghoa lainnya juga tak kalah menarik. Meskipun ada perbedaan bentuk, tetapi nuansa kuno sangat terasa saat berada di dalam rumah-rumah tersebut.
Mulai dari ubin atau tegel, ruang sembahyang, hingga ornamen-ornamen yang seluruhnya bergaya oriental.
Di Kecamatan Parakan, bangunan kuno terbagi menjadi dua tipikal arsitektur, yakni bergaya Hindia Belanda dan oriental.
“Kalau dari segi umur belum diketahui secara pasti kapan tanggal pembangunannya, tapi dari segi arsitekturnya, itu abad 19 dan abad 20.”
Potensi wisata dari bangunan-bangunan kuno itulah yang hendak digali dan dipasarkan oleh PIPPA yang berada di bawah naungan Noto Parakan Luwes (NPL).
Sejak tahun 2013, NPL sudah berupaya untuk mengembangkan potensi wisata yang ada di Kecamatan Parakan.
“Awal mulanya kami yang tergabung dalam Noto Parakan Luwes itu sejak 2013 sudah mulai kegiatan konservasi untuk cagar budaya di Parakan.”
“Baru 2 Oktober 2020 kami memberanikan diri mengatasnamakan PIPPA, sebagai penggerak atau pendobrak kegiatan pariwisata di Parakan, terutama untuk wisata heritage atau sejarah,” tuturnya.
Bangunan-bangunan pecinan kuno tersebut rencananya dijadikan sebagai trigger atau pemicu. Saat ini terdata ada 14 bangunan lawas oriental yang ada di Parakan.
Tetapi, dari 14 bangunan itu baru lima rumah yang bisa diakses melalui PIPPA. Penyebabnya, rumah-rumah itu merupakan milik pribadi dan sebagian masih ditinggali.
Pemilik dari kelima bangunan yang dijadikan sebagai objek wisata tersebut, menurut Titis, sudah setuju jika rumah mereka dkunjungi wisatawan.
Namun, mereka meminta agar PIPPA menjaga keamanan dan kenyamanan, baik untuk pemandu dari PIPPA, pengunjung, maupun pemilik rumah tersebut.
“Jadi untuk mengunjungi ya masih terbatas. Secara umumnya kami belum berani menghadirkan banyak orang atau tamu.”
“Jadi kita sistemnya custom, maksimal 10 orang untuk sekali masuk. Kalau misalnya ditargetkan sehari harus berapa kali kunjungan, kami juga belum berani,” kata Titis.
Sebagai bentuk menjaga kenyamanan dan keamanan, PIPPA memberikan syarat kepada pengunjung, salah satunya, identitas mereka harus jelas.
Selain itu, pengunjung pun tidak bisa sewaktu-waktu datang dan langsung mengunjungi bangunan-bangunan itu.
Mereka harus menginformasikan setidaknya dua hari sebelum kedatangan. Tujuannya, agar PIPPA bisa berkoordinasi dengan pemilik rumah terlebih dahulu.
“Tidak bisa mendadak. Bisa menghubungi melalui PIPPA, di media sosial ada di Facebook dan Instagram, di situ ada contact person dan narahubung,” lanjutnya.
“Yang baru berjalan itu kita paket satuan trip, jadi satu hari perjalanan itu per orangnya Rp150 ribu, dengan fasilitas welcome drink, makan siang, guide, dan ada lima rumah yang bisa dikunjungi.”
Selain wisata heritage berupa kunjungan ke rumah-rumah kuno pecinan, menurut Titis, potensi wisata lain yang ada di Kecamatan Parakan adalah wisata sejarah.
Wisata sejarah itu berupa biografi KH Subuki atau Jenderal Bambu Runcing dan sejarah Kadipaten Menoreh yang di Parakan.
“Karena dulu kan Parakan menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Menoreh, tahun 1816 sampai 1825. Itu beberapa peninggalannya masih ada.”
Niat PIPPA untuk mengembangkan potensi wisata yang ada di daerahnya tidak selalu berjalan mulus.
Meskipun sudah ada dukungan dari para pemilik bangunan, yakni setuju jika rumahnya menjadi lokasi kunjungan, PIPPA masih memiliki sejumlah kendala.
Kendala pertama adalah dari sisi finansial untuk pengembangan wisata tersebut.
Menurut Titis, pihak pemerintah daerah setempat pun sebenarnya sudah memberikan dukungan, tetapi dalam bentuk motivasi.
“Mungkin dari segi dukungan, support penyemangat sudah ada, tapi dari segi finansial yang belum ada,” kata dia.
Salah satu penyebab susahnya mendapat dukungan finansial dari pemerintah setempat adalah Parakan bukan merupakan sebuah desa.
Jika Parakan merupakan desa, kata Titis, agak lebih mudah mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat, karena ada pos anggaran untuk desa wisata.
“Parakan ini kan bukan sebuah desa, kalau misalnya desa, ada sub yang namanya desa wisata. Parakan ini bukan desa, jadi bantuan untuk pendanaan memang agak susah, mau dimasukkan ke mana gitu.”
Penjelasan Titis tersebut dibenarkan oleh personel PIPPA lainnya, Ronenta. Menurut Nenta, sapaan akrabnya, tanpa ada dukungan finansial, pihaknya juga mengalami kesulitan dalam mempromosikan potensi yang ada.
Padahal, kata dia, dari sejumlah pengunjung yang pernah datang ke Parakan, sebagian mengaku sangat terkesan.
Baca Juga: Sandiaga Uno Dorong Peningkatan Wisata Kesehatan Kelas Dunia
Terlebih saat mengunjungi bangunan-bangunan kuno.
“Jadi cenderung kita tarik dulu wisatawan ke Parakan, nanti biar wisatawan langsung yang menilai,” kata dia.
“Kita kalau dalam promosinya, kita cuma sampaikan potensinya, nanti biar wisatawan sendiri yang menilai,” dia mengulangi penjelasannya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.