JAKARTA, KOMPAS.TV – Para terduga pelaku obstraction of justice pada kasus penembakan Brigadir J atau Nofriansah Yosua Hutabarat tidak cukup ditempatkan secara khusus tetapi harus ditahan dalam proses pidana.
Dewan Pakar Peradi, Usman Hamid, menjelaskan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur tentang obstraction of justice dan tanggung jawab yang lebih besar penegak hukum berkaitan dengan hal itu.
“Misalnya, kalau kita baca Pasal 233 tentang Obstraction of Justice atau Pasal 52 KUHP yang memberi tanggung jawab lebih besar kepada penegak hukum termasuk kepolisian, untuk tidak merusak bukti atau menghilangkan bukti dengan cara yang koruptif atau dengan cara apa pun, pengaruh, komunikasi, surat dan sebagainya,” jelasnya dalam dialog Sapa Indonesia Malam di, Kompas TV, Rabu (17/8/2022).
“Kalau mereka misalnya terlibat di dalam tindakan obstraction of justice yang melanggar Pasal 233 KUHP dan Pasal 52 KUHP, maka tidak cukup ditempatkan secara khusus, mereka harus ditahan. Ditahan dalam proses pidana.”
Baca Juga: Dewan Pakar Peradi: Satgasus Merusak Sistem Diskresi Polri
Menurutnya, saat ini masyarakat sedang menunggu, apakah pihak kepolisian berani mengambil tindakan proses hukum pidana, menahan atau bahkan menetapkan mereka sebagai tersangka.
Dalam dialog tersebut, Usman juga menyebut tentang adanya puluhan personel kepolisian yang diperiksa karena pelanggaran kode etik.
“Pertanyaannya adalah, apakah kalau kita mau menghindari friksi internal, maka mereka tidak diperiksa? Itu susah. Jadi harus diperiksa.”
“Harus transparan, dan buktinya juga harus bisa dipertanggungjawabkan,” tambahnya.
Bahkan, lanjut dia, sebetulnya pada kasus ini bukan hanya pelanggaran kode etik, tetapi juga merupakan pelanggaran hukum pidana.
“Menghilangkan bukti, merusak bukti, atau menghancurkan bukti misalnya.”
“Jadi tindakan-tindakan yang selama ini dilakukan internal kepolisian, menurut saya tidak cukup hanya dengan pemeriksaan internalkode etik profesi atau misalnya penempatan khusus,” tuturnya.
Ia menegaskan, yang mereka lakukan memang melanggar kode etik profesi kepolisian, tetapi bukan hanya itu.
Melainkan juga pelanggaran hukum pidana, dengan ancaman hukuman bisa empat tahun bahkan bisa di atas lima tahun.
Usman juga meyakini bahwa transparansi dalam penanganan kasus ini dapat membersihkan intrik atau skandal yang mungkin menumpang di kasus tersebut.
Misalnya, kata dia, dijelaskan tentang proses penempatan khusus itu terhadap siapa saja, kenapa menggunakan proses dan mekanisme penempatan khusus atau patsus, kenapa tidak memproses pidana, dan kenapa tidak ditahan di tempat penahanan biasa.
“Kenapa tidak dikenakan pasal-pasal pidana, yang jelas-jelas dilanggar pasal 233 dan Pasal 52 tadi yang saya sebutkan.”
“Itu jelas memberikan kewajiban khusus pada setiap pejabat kepolisian, untuk misalnya tidak menghancukan atau tidak merusak atau tidak membikin tidak dapat dipakai, tidak menghilangkan barang bukti,” urainya.
Sebagai bagian dari transparansi, lanjut Usman, adalah melakukan pemanggilan, pemeriksaan, dan mengumumkan secara terbuka hasil pemeriksaan itu,sebagaimana kepolisian mengumumkan perkara-perkara lainnya.
“Saya kira tidak boleh ada diskriminasi khusus,” tegasnya.
Jika semuanya dilakukan secara tertutup, ia menjelaskan ada kemungkinan orang-orang yang tidak bersalah kemudian dipersalahkan.
“Kan kita sering mendengar juga bagaimana di kepolisian orang-orang yang baik justru dipersalahkan atau dibuang.”
Baca Juga: Pengacara Tuding Ferdy Sambo Curi 4 Rekening hingga Laptop Brigadir J: Masih Ada Transaksi!
“Banyak orang akhirnya dibuang jadi dosen di sespimti, atau dilemdiklatkan, atau diakpolkan.,” imbuhnya.
Orang-orang seperti ini, kata Usman, justru perlu dipanggil ulang untuk mengisi ruang-ruang kosong yang nanti akan ditinggalkan oleh orang-orang yang terkena pelanggaran hukum pidana obstraction of justice.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.