Seperti dikutip dari Buku "Antara Mayat, Tragedi, dan Perkara" yang ditulis oleh Agustaman dan Salim Shahab (2022), Yuli pernah diminta mengautopsi korban yang diduga meninggal karena jadi korban pengeroyokan dalam sebuah aksi tawuran dua kelompok.
"Keadaan rumah sakit ramai, rekan-rekan korban datang ingin melihat mendiang untuk terakhir kalinya. Sebagian di antaranya marah," ujar Yuli.
Rombongan teman dan keluarga korban dipersilakan masuk untuk melihat. Yuli bertanya kepada yang datang, adakah yang melihat korban saat tawuran terjadi. Ternyata tidak ada. Maka, dilakukan pemeriksan luka luar, dan yang tampak hanya lecet di bahu, hidung dan garis bekas kerokan.
Setelah pemeriksaan luar, lalu dilakukan pemeriksaan dalam. Juga tidak ditemukan kelainan memar di bawah kulit, resapan darah, maupun patah tulang. Tetapi pada pemeriksaan makrokospik, tampak ada kelainan jantung. Jantung tampak besar dan gambaran sesuai infark (atau kondisi kerusakan jaringan, red) lama dan infark baru.
Namun besoknya, sudah beredar berita bahwa korban mati dikeroyok. Yuli sedikit tercengang, sebab hasil pemeriksaan menyimpulkan, korban tewas akibat penyakit jantung.
Saat itu, sedikit terjadi ketegangan. Hingga, ada yang minta hasil visum et repertum, namun Yuli tidak memberikannya. Situasi menegang dan ada intimidasi, ada rasa khawatir dan takut. Menurut Yuli, ini konsekuensi.
Yuli pun menelepon kedua orang tuanya untuk minta doa dan dukungan untuk tetap jujur dan menyatakan kebenaran.
Kisah berbeda disampaikan oleh dokter Lipur Riyantiningtyas Budi Setyowati. Ia tengah praktik di Rumah Sakit PMI Jogjakarta kala terjadi erupsi Gunung Merapi pada 2010.
Meski bukan yang pertama dalam melakukan autopsi mayat korban letusan gunung, tetapi baginya, ini yang terberat.
Saat melakukan pemeriksaan, air matanya menetes. Sebab, sejumlah orang dekat yang sudah dianggap sebagai ayah dan anaknya, jadi korban.
"Sangat berat, harus memisahkan antara rasa dan pikiran, karena sebagian besar korban adalah orang yang saya kenal baik," tuturnya.
Menurut Lipur, saat berhadapan dengan mayat, mindset atau pola pikir harus diubah: yang dihadapi bukan mayat, tetapi objek.
"Kenapa jenazah ini bisa mati? Apa yang menyebabkannya?" kata sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogya lulusan 2015 ini.
Baca Juga: Autopsi Ulang Jenazah Brigadir Yoshua, Ahli Forensik: Luka Proyektil Itu Berbeda dengan Luka Sayatan
Dia mengenang saat kali pertama menjadi mahasiswa kedokteran dan dapat ilmu forensik. Ia menyebut sempat tidak suka gudeg, padahal gudeg adalah makanan kesukannya. Ternyata, sebabnya karena warna gudeg disebutnya mirip otot manusia yang membusuk.