MEDAN, KOMPAS.TV – Jumlah penghuni kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin tercatat ada 656 orang terhitung. Tak main-main, jumlah ratusan penghuni ini dihitung sejak 2010 silam.
"Dari dokumen ada 656 (penghuni) sejak 2010," ungkap Kapolda Sumut Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak dalam konferensi pers, Sabtu (29/1/2022).
Dari total itu, Panca mengungkapkan ada penghuni yang pernah meninggal dunia di lokasi tersebut.
Terkait jumlah, pihaknya belum dapat memastikan sebab polisi hingga kini masih melakukan penyelidikan dan pemeriksaan.
Hanya saja diperkirakan lebih dari satu orang.
"Sudah ditemukan (tindakan kekerasan), saat ini masih dilakukan proses penyelidikan dan pemeriksaan. Berikan kami waktu secara utuh untuk mengungkap hilangnya nyawa orang yang kami temukan (di kerangkeng rumah Bupati Langkat)," ungkap Panca.
Panca menyebut, dugaan tindakan kekerasan di kerangkeng bupati Langkat nonaktif itu menjadi satu bukti yang akan ditelisik lebih lanjut.
Selain itu, guna mendapat kepastian terkait jumlah dan hilangnya nyawa warga yang berada di kerangkeng, Polda Sumut akan melakukan pemeriksaan.
Baca Juga: Komnas HAM Temukan Indikasi Pelanggaran HAM di Kasus Kerangkeng Manusia Bupati Langkat
"Mulai dari siapa yang menerima, siapa yang ada, dan siapa yang bertanggung jawab itu yang akan menjadi consent kita dalam mengungkap kasus hilangnya nyawa orang tadi yang ditemukan dugaannya dan bukti permulaannya," pungkas Panca.
Diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan ada indikasi tindak pidana perdagangan orang atau human trafficking di kerangkeng atau penjara manusia milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin.
Menurut Wakil Ketua LPSK RI Edwin Partogi, indikasi perdagangan orang lantaran para tahanan yang berada di kerangkeng dieksploitasi kerja tanpa gaji hingga dihilangkan kebebasannya.
"LPSK menemukan indikasi tindak pidana perdagangan orang karena para tahanan ini hilang kebebasannya dan dieksploitasi untuk kerja di pabrik sawit tanpa digaji," kata Edwin Partogi kepada wartawan, Sabtu (29/1).
Salah satu kebebasan yang dirampas adalah penghuni kerangkeng ternyata dibatasi untuk beribadah.
"Apakah, mereka bisa melaksanakan ibadah? Hal itu juga dibatasi. Kami melihat ada sajadah. Tapi ketika kami tanyakan, apakah boleh mereka salat Jumat, tidak boleh. Apakah mereka bisa Salat Id, tidak boleh. Bagaimana yang ke gereja, tidak boleh. Saat Natal, tidak boleh," papar Edwin.
Edwin menyebutkan orang-orang yang menghuni kerangkeng itu juga dibatasi aksesnya bertemu keluarga.
Pihak keluarga tidak bisa membesuk mereka dalam waktu tertentu.
"Dalam enam atau tiga bulan pertama tidak boleh diakses oleh keluarga. Kami juga mendatangi lokasi, pabrik, dan mendengar sendiri, apakah mereka bisa berkomunikasi dengan keluarga, misalnya dengan handphone. Ternyata aksesnya dibatasi," ujarnya.
Selain itu, menurut informasi yang diperoleh LPSK, para warga yang berada dalam kerangkeng bertahan kurang lebih 1 sampai 4 tahun.
"Mereka juga cukup lama ada di tahanan ilegal itu hingga satu sampai empat tahun," imbuh Edwin.
Lebih lanjut, Edwin menilai pembatasan-pembatasan di dalam kerangkeng bahkan melampaui pembatasan yang terjadi di dalam rutan atau lapas milik negara.
Bahkan diketahui, pihak keluarga juga harus membuat pernyataan untuk tidak menggugat jika terjadi sesuatu pada penghuni selama dalam kerangkeng.
Sementara itu, Edwin menjelaskan bahwa penghuni kerangkeng bukan hanya korban penyalahgunaan narkotika. Tetapi ada yang karena berjudi hingga 'main perempuan'.
"Tidak semua penghuninya yang narkotika, ada yang tukang judi, ada yang 'main perempuan'. Keluarga sudah kewalahan menyerahkan di sini," pungkas Edwin.
Baca Juga: LPSK Terjunkan Tim Investigasi ke Langkat, Dalami Temuan Kerangkeng Manusia
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.