JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan (Menkeu), melalui tim kuasa hukumnya, menolak untuk membayar utang negara sebesar Rp 60 miliar.
Utang tersebut merupakan bagian dari gugatan seorang warga dari Padang, Sumatera Barat, bernama Hardjanto Tutik yang pernah memberikan dana pinjaman kepada negara Indonesia pada 1950.
Kasi Pertada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat Bob Sulitian mengatakan, penolakan membayar utang itu terjadi meski proses mediasi telah digelar oleh Pengadilan Negeri Padang, Rabu (26/1/2022).
"Ya benar, memang ada (gugatan dari Hardjanto soal utang negara). Jadi, persidangan tersebut sudah masuk mediasi (namun gagal)," kata Bob, dikutip dari Kompas.com, Kamis (27/1/2022).
Baca Juga: Latar Belakang Gugatan Warga Padang kepada Presiden Jokowi soal Utang Negara Rp 60 Miliar
Menkeu yang diwakili oleh 12 pengacara, dalam jawaban tertulisnya, menyatakan bahwa obligasi atau surat utang milik negara yang ada di tangan Hardjanto sudah lewat masa pelunasannya.
Menurut Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 466a/1978, durasi waktu pelunasan utang itu terhitung hingga lima tahun sejak penetapan obligasinya pada 28 November 1978.
"Maka surat obligasi tersebut jadi kedaluwarsa. Sehingga proposal permohonan penggugat tidak dapat kami penuhi," jelas salah satu pengacara Menkeu, Didik Hariyanto.
Jadi, karena penggugat tidak mencairkan obligasi tersebut dalam rentang waktu yang telah disebutkan di atas, alhasil pemerintah saat ini tak berkewajiban untuk melunasinya.
Baca Juga: Gagal Mediasi, Jokowi Tak Bersedia Bayar Utang Rp60 Miliar ke Seorang Warga Asal Padang
Amiziduhu Mendrof, selaku kuasa hukum Hardjanto Tutik, mengungkapkan bahwa kliennya merasa kecewa dengan sikap dan pernyataan pemerintah yang enggan membayar utang tersebut.
"Jawaban Presiden (Jokowi) dan Menteri Keuangan yang tidak mau membayar utang, membuat klien saya sangat kecewa," ujar Mendrof.
"Harusnya, klien saya mendapat penghargaan karena berjasa membantu negara, sekarang uangnya belum dikembalikan," ujarnya.
Mendrofa pun menilai, alasan yang diberikan oleh pihak tergugat itu sangat aneh karena menggunakan dasar KMK untuk menghindari pembayaran utangnya.
Baca Juga: Sri Mulyani Tampik Kabar Utang Pemerintah Puluhan Ribu Triliun Rupiah
Padahal, lanjut Mendrofa, KMK itu sendiri telah mengangkangi Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
"Dalam undang-undang sudah dinyatakan sah, kenapa di KMK bisa disebut kedaluwarsa? Aneh, utang kok bisa kedaluwarsa," kata Mendrofa.
Mendrofa menekankan, posisi UU juga jelas lebih tinggi tingkatannya dari KMK yang belum terdaftar dalam lembaran negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, setelah proses mediasi gagal, Mendrofa dan kliennya akan tetap melanjutkan gugatan ke persidangan.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.