Begitu pula dengan penyimpangan seksual.
Bahkan, hal-hal semacam itu disebutnya menyumbang 30 persen penyebab meningkatnya angka HIV.
“Itulah kenapa kami fraksi PKS menginginkan ada muatan yang mengatur, hukum yang mengatur tentang penyimpangan seksual dan seks bebas. Karena sudah banyak juga korbannya dan pelakunya,” katanya.
Narasumber lainnya pada dialog tersebut adalah Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya.
Ia lantas menanggapi pendapat Kurniasih itu setelah diberi kesempatan berbicara oleh presenter yang memandu dialog secara langsung (live) tersebut.
Menurut Willy Aditya, hal-hal yang diusulkan oleh Fraksi PKS dan fraksi partai Islam lainnya telah diakomodir secara utuh dalam kerangka sexual consent tidak masuk dalam RUU TPKS.
Walaupun kemudian oleh kelompok masyarakat sipil sebagai pengusungnya ditolak secara luar biasa karena itu dianggap menjadi sebuah pilar utama dalam kekerasan seksual.
“Tapi kemudian demi mengakomodir teman-teman semua supaya bisa kita golkan secara cepat, maka sexual consent itu dihapus,” jelas Willy.
Kedua, lanjut Willy, negara hanya mengatur tentang kekerasan.
Tidak boleh digunakan oleh individu atau kelompok di dalam negara.
Baca Juga: Kementerian PPPA Janji Libatkan DPR, Organisasi atau Tokoh Agama, dan Penegak Hukum Bahas RUU TPKS
Oleh sebab itu, ketika DPR tidak mengatur perilaku, bukan berarti menyepakati hal itu.
“Itu harus clear dan clean. Kami tidak mengatur apa yang sudah termaktub di dalam undang-undang yang eksisting, termasuk perzinaan yang sudah ada di KUHP,” kata Willy.
“Itu undang-undangnya masih eksis, dan pasal zina ada di sana. Kami tidak mengatur zina karena itu sudah ada di KUHP,” tegasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.