JAKARTA, KOMPAS.TV - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan kebijakan larangan ekspor batubara bukti keterancaman pasokan listrik di Tanah Air yang diakibatkan ketidakpastian sumber energi fosil.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eknas Walhi Fanny Tri Jambore bahkan menyebut kondisi ini telah terjadi berulang kali.
"Keterancaman pasokan listrik akibat ketidakpastian sumber dari energi fosil sudah terjadi berulang kali," kata Fanny saat dihubungi KOMPASTV, Senin (3/1/2022).
Pernyataan ini disampaikan Fanny atau yang biasa disapa Rere, guna merespons kebijakan pelarangan ekspor batubara oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) selama Januari 2022.
Rere menilai kondisi seperti ini seharusnya mendorong pemerintah untuk memprioritaskan sumber energi terbarukan. Bukan batubara yang cenderung dikuasai oleh oligarki.
"Sehingga perlu juga dipertanyakan mengapa pemerintah masih melanjutkan pembangunan 13GW pembangkit listrik batubara dan tidak segera memiliki rencana ambisius untuk bauran energi listrik yang lebih besar pada sumber energi terbarukan," ungkap Rere.
Sementara itu, Walhi menyatakan kebijakan pelarangan ekspor ini hadir lantaran belum terpenuhinya Domestic Market Obligation (DMO) hingga akhir 2021.
Baca Juga: Hari Terakhir KTT G20 Bahas Krisis Iklim, Batubara Masih Jadi Perdebatan Sengit
Menurut Rere, kondisi ini menunjukkan problem utama terkait tata kelola energi yang masih tersentral dan cenderung dikuasai oleh oligarki.
Terlebih hingga saat ini, penyediaan listrik Indonesia masih dikuasai oleh PLN. Bahkan, 60 persen lebih pasokan listriknya tergantung pada batubara.
"Pembangkitan energi listrik kita masih sentralistik dengan bauran energi yang masih terbelenggu dengan sumber energi fosil yang dikuasai oleh oligarki," jelasnya.
Walhi menilai hal tersebut terjadi lantaran belum adanya demokrasi energi dalam pemenuhan energi listrik di Indonesia.
"Belum ada demokrasi energi dalam upaya pemenuhan energi listrik di Indonesia," pungkasnya.
Alasan Pelarangan Ekspor Batubara
Diberitakan sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin mengungkapkan, larangan diberlakukan karena defisit baru bara PT PLN (Persero) lantaran pengusaha tak mematuhi kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO).
Pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha membuat pembangkit PLN sempat mengalami defisit pasokan batu bara pada akhir tahun kemarin.
Padahal, menurut Ridwan, persediaan batu bara yang aman di PLTU PLN adalah di atas 20 hari operasi.
"Dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari Pemerintah, hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1 persen," ujar Ridwan.
"Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU yang ada. Bila tidak segera diambil langkah-langkah strategis maka akan terjadi pemadaman yang meluas," sambung Ridwan.
Sementara itu kebijakan larangan ekspor ini memicu kecemasan sejumlah pihak.
Salah satunya disampaikan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid yang menilai larangan ekspor batu bara akan memperburuk citra pemerintah terkait dengan konsistensi kebijakan dalam berbisnis.
Pendapat itu disampaikan oleh Arsjad melalui keterangan tertulis yang diterima KompasTV, Sabtu (1/1/2022).
“Nama baik Indonesia sebagai pemasok batu bara dunia akan anjlok,” jelasnya.
Selain itu, kata Arsjad, upaya Indonesia untuk menarik investasi dan memperlihatkan diri sebagai negara yang ramah investor dan memiliki iklim berusaha yang pasti dan dilindungi hukum, akan turun reputasinya.
“Minat investor di sektor pertambangan, mineral dan batu bara akan hilang, karena dianggap tidak bisa menjaga kepastian berusaha bagi pengusaha,” jelas Arsjad.
Baca Juga: Kadin Sebut Larangan Ekspor Batu Bara Akan Memperburuk Citra Pemerintah dalam Berbisnis
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.