JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan ada kekeliruan mendasar dari penetapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta ketika menganulir upaya hukum korban korupsi bansos.
Hal tersebut disampaikan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berdasarkan pendapat para eksaminator secara umum.
Sebagai informasi, Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesia Corruption Watch, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Visi Integritas Law Office, change.org, Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, dan Lokataru meluncurkan laporan eksaminasi atas penetapan hakim yang menolak penggabungan perkara gugatan ganti kerugian para korban korupsi bansos.
Adapun akademisi yang tergabung sebagai majelis eksaminasi terdiri dari, Agustinus Pohan (Dosen FH UNPAR), Ahmad Sofian (Dosen FH Universitas Binus), Fachrizal Affandi (Dosen FH UNBRAW), Leopold Sudaryono (Ahli Kriminologi), dan Elisabeth Sundari (Dosen FH Universitas Atmajaya Yogyakarta).
“Sebagaimana diketahui, para korban korupsi bansos itu sedang mengupayakan pemulihan hak-haknya yang telah dirampas oleh pelaku korupsi, salah satu diantaranya mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara,” kata Kurnia Ramadhana dalam keterangannya kepada KOMPAS.TV, Rabu (29/12/2021).
Baca Juga: KPK Gandeng TNI AL Siapkan Rutan untuk Koruptor
Betapa tidak, akibat praktik korupsi tersebut, paket bantuan sosial berupa sembilan bahan pokok itu kualitasnya sangat buruk.
Maka dari itu, 18 masyarakat yang berdomisili di sekitaran Jakarta mengajukan perlawanan hukum dengan menggunakan mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98 KUHAP).
“Alih-alih diperiksa dan dikabulkan, langkah hukum mereka justru ditolak dengan alasan yang sangat janggal, yakni kewenangan relatif pengadilan,” ujar Kurnia.
“Sederhananya, pandangan majelis hakim, permohonan hukum para korban itu keliru, karena tidak sesuai dengan domisili tergugat, dalam hal ini Juliari di Jakarta Selatan,” tambahnya.
Kurnia dalam keterangannya menyampaikan konstruksi argumen majelis hakim itu sangat mungkin diperdebatkan. Sebab, Pasal 98 KUHAP sama sekali tidak mensyaratkan ketentuan domisili tergugat sebagai dasar untuk mengajukan perlawanan hukum.
Baca Juga: Percepat Vaksinasi, Mendagri Izinkan Pemda Gunakan Bansos untuk Tarik Minat Warga
Apalagi jika dicermati lebih dalam, syarat yang tertera dalam Pasal 98 KUHAP terdiri dari:
1) adanya kerugian yang dirasakan oleh seseorang;
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.