JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar menjadi pembicaraan di Twitter sejak Kamis, (4/11/2021) pagi.
Hal tersebut usai dirinya mengunggah sebuah pernyataan yang mengatakan pembangunan besar-besaran di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan inisiasi Indonesia Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca bukan berarti sebagai nol deforestasi.
Sebenarnya, cuitan Siti Nurbaya tersebut sebelumnya telah disampaikannya saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, pada Selasa (2/11/2021).
Saat itu, dalam keterangan tertulis yang dilansir dari ANTARA, Situ Nurbaya mengatakan, bahwa agenda FoLU Net Carbon Sink menjadi komitmen Indonesia mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon di tahun 2030.
"Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan atau penyimpanan karbon sektor kehutanan. Oleh karena itu, pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," ujar Siti.
Baca Juga: Tak Hadiri COP26, China Memberi Jawaban Menohok Kritikan Joe Biden
Menurut dia, menghentikan pembangunan atas nama nol deforestasi sama dengan melawan mandat Undang-Undang Dasar 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.
Menurutnya, kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan dan tentu saja harus berkeadilan.
"Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia," kata Siti.
Untuk itu, ia mengajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain, karena di situ ada persoalan cara hidup.
Ia mencontohkan soal gaya hidup, misalnya tentang definisi rumah huni menurut masyarakat Indonesia dengan halaman rumah dan sebagainya yang berbeda dengan konsep rumah huni menurut kondisi di Eropa, Afrika dan negara lainnya.
"Jadi harus ada 'compatibilty' dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detil. Bila perlu harus sangat rinci," ujar dia.
Baca Juga: Menteri LHK Siti Nurbaya: Jakob Oetama Selalu Kedepankan Kepentingan Nasional
Ia juga memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan pembangunan suatu negara. Beberapa negara maju dikatakan sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an, selebihnya mereka tinggal menikmati hasil pembangunan.
Artinya sampai dengan sekarang sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut emisi nol bersih.
"Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk 'zero deforestation' di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya," ujarnya menegaskan.
Siti lagi-lagi memisalkan kasus di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.
"Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya," kata Siti Nurbaya.
Baca Juga: Joe Biden Kritik China: Klaim Pemimpin Dunia Kok Tak Datang KTT COP26
Sumber : Kompas TV/Ant
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.