JAKARTA, KOMPAS.TV - Dua hari ini media sosial dipenuhi kecaman terhadap anggota Polresta Tangerang atas aksinya yang membanting salah satu mahasisa yang berdemonstrasi di Kantor Bupati Tangerang, Rabu (13/10/2021).
Kejadian kemarin tersebut bukan satu-satunya, banyak kejadian-kejadian sebelumnya yang itu tidak diusut oleh kepolisian.
Bahkan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut tindakan brutalitas aparat tersebut tidak terlepas dari kultur kekerasan yang langgeng di tubuh kepolisian.
Terlebih, tindakan kekerasan oleh anggota kepolisian dalam mengamankan aksi tidak pernah diusut secara tuntas dan berkeadilan.
"Hal tersebut akhirnya membuat tindakan serupa dinormalisasi sehingga terus terjadi keberulangan dan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang humanis," terang Wakil Koordinator Bidang Advokasi, Arif Nur Fikri melalui keterangan tertulisnya, Kamis (14/10/2021).
Baca Juga: Kompolnas Sebut Citra Polri Buruk jika Tak Tegas Sanksi Pelaku Smackdown Mahasiswa
Jawaban pertanyaan tersebut jelas, tidak boleh. Polisi dilarang terpancing emosi apalagi memukul massa saat bertugas dalam pengendalian massa.
Alasannya, karena demonstrasi adalah sebagai hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum, dan itu dilindungi oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E UUD 1945.
Lebih jauh terkait mekanisme pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Benar bahwa dalam pelaksanaannya, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi) dapat menimbulkan kericuhan dan diperlukan adanya pengamanan.
Dari itu, pemerintah memberikan amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Mengatur lebih dalam soal pelaksanaan demonstrasi, dibuatlah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Perkap tersebut sebagai pedoman dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dan pedoman dalam rangka pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan penanganan perkara (dalam penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan penyampaian pendapat dapat berjalan dengan baik dan tertib (Pasal 2 Perkapolri 9/2008).
Pasal 13 Perkapolri 9/2008 menjelaskan, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara (demonstrasi), aparatur pemerintah (dalam hal ini Polri) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. melindungi hak asasi manusia; b. menghargai asas legalitas; c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan d. menyelenggarakan pengamanan.
Baca Juga: Polda Banten dan Polresta Tangerang Minta Maaf Atas Insiden Polisi Banting Mahasiswa
Di samping itu, ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi, yaitu Peraturan Kapolri No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas).
Dalam Protap tersebut ditegaskan, bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.
Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang.
Bunyi pasalnya seperti berikut:
Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas:
Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas:
Baca Juga: Kapolresta Tangerang akan Tindak Tegas Anggotanya yang Terbukti lakukan Kekerasan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.