Sama seperti kasus Pendeta Yeremia, kasus-kasus lain juga masih belum mendapat kejelasan lantaran proses peradilan yang tidak transparan.
“Misalnya, penembakan dan pembunuhan terhadap Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa pada 7 Oktober 2020 yang hingga hari ini pelakunya belum ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Fatia Maulidiyanti .
Bahkan terbaru, terdapat kasus dua anggota TNI yang menginjak kepala seorang warga di Merauke, pelaku merupakan anggota TNI AU bernama Serda Dimas Harjanto dan Prada Rian Febrianto.
Kasus tersebut memperlihatkan bahwa aparat yang bertugas khususnya di Papua masih berperspektif rasis dan mengedepankan metode kekerasan.
“Terlebih korban merupakan seorang penyandang disabilitas. Pendekatan militeristik yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik terbukti tidak efektif dan justru semakin memperpanjang rentetan kekerasan di Papua,” beber Fatia Maulidiyanti .
“Potensi kekerasan bahkan semakin diperparah dengan ditetapkannya KKB sebagai organisasi teroris.”
Baca Juga: KontraS Temukan 54 Peristiwa Kekerasan yang Libatkan TNI sepanjang Oktober 2020-September 2021
Dalam cermat KontraS, lanjut Fatia Maulidiyanti , pendekatan keamanan dan berbasis stigma tentu harus dievaluasi ulang.
Walaupun UU Terorisme melegitimasi keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme, harus diatur secara tegas garis demarkasi antara penanganan kejahatan/tindak pidana dengan tindakan yang butuh tenaga militer.
“Hal tersebut guna meminimalisir adanya pelanggaran HAM di tanah Papua. Belakangan ini, pendekatan sekuritisasi dengan melibatkan aparat gabungan TNI/Polri juga makin masif dilakukan dalam pengamanan PON Papua,” kata Fatia Maulidiyanti .
“Langkah penerjunan aparat tersebut juga merupakan jalan kontradiktif yang diambil pemerintah pusat dan tidak memikirkan dampak selanjutnya.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.