JAKARTA, KOMPAS.TV- Kejaksaan Agung Republik Indonesia mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melanjutkan penyidikan terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi pembelian LNG, di PT. Pertamina (Persero).
Keterangan itu disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/10/2021).
“Berdasarkan koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik KPK saat ini juga telah melakukan penyidikan terhadap kasus yang sama,” kata Leonard.
“Oleh karena itu untuk tidak terjadinya tumpang-tindih penanganan perkara, Kejaksaan Agung RI mempersilahkan dan tidak keberatan untuk selanjutnya KPK dapat melakukan penyidikan terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi dimaksud,” ujarnya.
Dalam posisi penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pembelian LNG, di PT. Pertamina (Persero), Leonard mengatakan Kejaksaan Agung telah melakukan kegiatan penyelidikan sejak 22 Maret 2021.
Baca Juga: Naik Turun, Ini Daftar Harga BBM Pertamina di 34 Provinsi Bulan Oktober 2021
Tim penyelidik, kata Leonard, bahkan sudah selesai melakukan penyelidikan dan kini berada di tahap penyidikan.
“Kami sampaikan bahwa Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah melakukan kegiatan penyelidikan sejak tanggal 22 Maret 2021 atas Dugaan Indikasi Fraud dan Penyalahgunaan Kewenangan dalam Kebijakan Pengelolaan LNG Portofolio di PT. Pertamina (Persero),” ujar Leonard.
“Dan saat ini tim penyelidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah selesai melakukan penyelidikan untuk selanjutnya dinaikan ke tahap penyidikan.”
Terpisah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman menyampaikan akan mengawal perkara dugaan tindak pidana korupsi pembelian LNG, di PT. Pertamina (Persero) yang diduga merugikan negara Rp2 triliun.
“Sebagaimana pemberitaan media massa, pada tahun 2013/2014 Pertamina telah melakukan kontrak pembelian LNG dari Mozambik yang rencananya untuk kebutuhan dalam negeri, yang mayoritas digunakan untuk listrik dan kilang Refinery Development Master Plan (RDMP),” ujar Boyamin.
“Negosiasi kontrak tersebut diawali pada 2013, di mana Pertamina dan Mozambique LNG1 Company Pte. Ltd mulai melakukan pembicaraan terkait potensi suplai LNG. Kemudian, pada 8 Agustus 2014, kedua belah pihak menandatangani Head of Agreement( (HoA) dengan volume 1 MTPA selama 20 tahun dengan harga DES 13,5 persen JCC.”
Dalam perjalanannya hingga tahun 2019, kata Boyamin, kontrak ini diduga telah merugikan Pertamina sekitar Rp2 triliun dikarenakan harga pembelian lebih tinggi daripada harga penjualan alias "tekor".
Baca Juga: Buruk Bagi Ekosistem Pesisir, Pertamina Diminta Tak Buru-buru Simpulkan Ceceran Minyak Sudah Tak Ada
Boyamin menduga Pertamina melakukan kesalahan dalam kontrak tersebut.
“Pertama, dugaan kesalahan melakukan kontrak panjang (20 tahun) dengan harga flat sehingga ketika harga pasar turun namun pihak Pertamina tetap harus membeli dengan harga tinggi,” kata Boyamin.
“Kedua, dugaan kesalahan melakukan analisa kebutuhan dalam negeri seakan akan membutuhkan LNG dalam jumlah besar. Namun ternyata persediaan dalam negeri mencukupi dan bahkan berlebih, sehingga LNG dari Mozambik akhirnya dijual lagi di pasar internasional dengan harga murah yang kemudian menimbulkan kerugian Pertamina.”
Boyamin menuturkan, pelaksanaan penjualan LNG dilakukan oleh anak perusahaan Pertamina (PT XYZ) yang meskipun merugi namun Direksinya menerima bonus Rp200 miliar.
“Berdasar informasi yang dihimpun MAKI, bahwa atas dugaan kerugian sekitar Rp2 triliun dan Rp200 miliar yang dialami Pertamina tersebut, Direktorat Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah melakukan Penyelidikan setelah melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) berdasar ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Boyamin.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.