JAKARTA, KOMPAS.TV - Kebangsaan Indonesia dinilai seperti cermin yang mengalami keretakan di sana-sini. Beruntung masih terdapat bingkai berupa negara yang menyatukannya.
Pendapat ini dikemukan oleh Dr Ngatawi Al Zastrouw, mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, saat memberikan refleksi dalam diskusi webinar bertema "Mengembalikan Kehormatan Bangsa melalui Pemulihan Hak Rakyat di Bidang Politik, Ekonomi, dan Budaya", yang digelar DPP Gerakan Pembumian Pancasila, Kamis (10/12/2020).
"Situasi kebangsaan kita, situasi kepancasilaan kita, situasi kebernegaraan kita saat ini, kalau kita melihat situasi negara kita ini seperti bercermin yang retak, artinya ada keretakan di sana-sini."
"Tapi untunglah cermin yang retak itu tidak sampai terkelupas dan masih tetap berdiri di tempatnya, karena masih ada bingkai yang menyatukan itu. Masih ada bingkai yang membuat retakan-retakan itu tidak terlepas," kata Zastrouw.
Bangsa ini, sambungnya, sedang megalami defisit tradisi. Banyak tradisi-tradisi yang diturunkan dari para leluhur hilang dan tergerus. Padahal tradisi-tradisi, nilai, dan norma yang mulia itu, oleh para pendiri bangsa sudah dikristalkan ke dalam suatu bentuk yang disebut Pancasila.
"Tapi detik ini Pancasila seolah-olah tidak bisa mengepakkan sayapnya. Karena kepak sayap garuda dan mata tajamnya sudah terjepit," kata Dewan Pakar DPP Gerakan Pembumian Pancasila ini.
Pancasila terjepit oleh dua sisi. Dari sisi kiri terjepit liberalisme, dari sisi kanan dijepit formalisme dan simbolisme. Kedua sisi ini sedang menekan proses kebangsaan yang ada di Indonesia.
Untuk mengembalikan kehormatan bangsa tanpa adanya retakan-retakan dalam bingkai Pancasila, Zastrouw mengatakan, saatnya untuk kembali kepada kesadaran untuk hidup pada norma, ajaran-ajaran yang telah diberikan orang tua kita, yang detik ini sudah tidak dikenali oleh generasi saat ini.
"Saya bukan orang yang ingin mempertahankan tradisi dengan mati-matian. Tradisi (memang) harus bergeser, adat harus bergeser, tapi nilai spirit norma dan ajaran-ajaran tradisi itu yang harus dijaga, yang harus kita aktualisasi sesuai dengan realita kekinian," ujarnya.
Artinya, dalam kehidupan berbangsa, kita perlu melakukan rekonstruksi terhadap nilai-nilai norma dan tradisi dalam konteks kekinian. Karena hal ini sudah dilakukan oleh orang tua kita sejak dulu.
Dengan situasi yang ada sekarang ini, Zastrowu mengajak untuk kembali sejenak pulang ke rumah yang bernama nusantara untuk digali kembali, dikaji, dan mengasah seluruh potensi ajaran leluhur yang baik.
"Kita rekonstruksi, kita rangka, kita bikin rumah agar bisa ditempati dengan spirit-spirit yg baik. Yang dalam konteks ini sudah dirumuskan dalam Pancasila itu. Mari sama-sama kembali ke rumah nusantara," katanya.
Baca Juga: Kedatangan Vaksin Corona Jadi "Game Changer", Seampuh Apa Pulihkan Ekonomi Indonesia?
Sementara, Drs Ruskana Putra Marhaen, Dewan Pembina Pusat Kajian Marhaenisme, berpendapat cara untuk kembali kepada kerukunan, keutuhan bangsa Indonesia adalah harus ada kemauan politik dari pengelola negara untuk menyelenggarakan rekonsiliasi nasional.
Salah satu rekonsiliasi yang diperlukan adalah rekonsiliasi pelurusan sejarah. Contohnya pelurusan sejarah peristiwa 1 Oktober 1965.
Banyak tulisan dan versi berdasarkan tafsir sendiri-sendiri tentang peristiwa 1 Oktober 1965. Namun Ruskana sebagai penganut ajaran Bung Karno, maka tentu penilaian terhadap peristiwa 1 Oktober 1965 merujuk kepada keterangan Bung Karno.
Menurut Bung Karno, kata Ruskana, peristiwa 1 Oktober 1965 adalah bermuaranya pada tiga hal, yakni lihainya Nekolim, keblingernya pimpinan PKI, dan adanya oknum yang tidak benar di dalam negeri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, siapa yang dimaksud dengan oknum yang tidak benar di dalam negeri itu? Kalau merujuk kepada tulisan para pengamat saat itu, dapat disimpulkan bahwa siapa yang membangkang kepada perintah Presiden Pati ABRI?
"Masih segar dalam ingatan saya, saat itu tanggal 3 Oktober 1965 Bung Karno berpidato dan memerintahkan untuk menciptakan suasana tenang dan tertib, penyelesaian politik atas peristiwa 1 Oktober 1965 serahkan kepada beliau (Bung Karno)," kata Ruskana.
Namun yang dilakukan Pangkostrad Soeharto dengan angkatan daratnya, terus melakukan pengejaran, penangkapan, bahkan pembantaian terhadap siapa saja pengikut Bung Karno.
Menurut Ruskana, sebenarnya Soeharto yang dengan dalih menumpas PKI, hanya sekedar alibi. Sebenarnya, Soeharto mau menumbangkan Bung Karno. Hal tersebut dapat dilihat dari pembasmian terhadap pendukung Bung Karno.
"Kalau benar Soeharto mau menumpas PKI, lalu kenapa banyak tokoh nasional yang anti-PKI (seperti Chairul Saleh, Sudibjo, Tumakaka, 16 menteri yang menyatakan mendukung pemerintahan Bung Karno) juga turut dimatikan karirnya dan bahkan 'diamankan'?" ujar Ruskana.
Akibat sejarah yang tidak benar ini, masih ada sekelompok rakyat yang masih dianggap warga negara kelas 2, yakni mereka yang distigma sebagai eks tapol dan napol peristiwa 1 Oktober 1965.
"Selama ada satu golongan yang dinafikkan, maka selama itu pula, stabilitas nasional akan sulit dicapai," tegas Ruskana.
Indonesia Mengalami Penjajahan Ekonomi
Chandra Setiawan, mantan anggota Komnas HAM periode 2002-2007, kini komisioner KPPU periode 2018-2023, memaparkan negara kita sedang dalam penjajahan ekonomi.
Pasca Presiden Soekarno disingkirkan, asing telah menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang dikeluarkan Orde Baru.
Undang-undang ini memungkinkan asing menguasai sektor-sektor ekonomi bersama-sama dengan perusahaan domestik. Antara lain, pelabuhan, tenaga listrik, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, hingga media massa.
Kemudian, Undang-Undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Pasal 3 ayat (1) berbunyi, ”Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional. Presentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.”
"Hal ini berarti bahwa perusahaan asing sudah boleh memiliki 49% dari perusahaan-perusahaan yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak," kata Chandra.
Kemudian dalam perjalanannya, kedua undang-undang yang sebenarnya sudah cukup merugikan itu, kembali direduksi dengan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994.
Pada pasal 5 ayat (1), isinya membolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.
Pasal 6 ayat (1) mengatakan: “Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a, sekurang-kurangnya 5% dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian”.
"Jadi PP No.20/1994 bertentangan dengan UU No.1/1967, bertentangan dengan UU No.6 Tahun 1968, bertentangan dengan UU No.11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, dan menentang jiwa Pasal 33 UUD 1945," sebut Chandra.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.