JAKARTA, KOMPAS TV - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengakui pembelajaran jarak jauh (PJJ) mempunyai dampak negatif berkepanjangan pada anak atau siswa.
Bahkan, kata Nadiem, karena memiliki banyak dampak negatif itulah, sehingga dapat mengakibatkan rusaknya masa depan sang anak secara permanen.
Pertama, kelangsungan belajar mengajar yang tidak dilakukan di sekolah berpotensi menimbulkan ancaman putus sekolah.
Baca Juga: Menteri Nadiem Izinkan Pembelajaran Tatap Muka di Zona Kuning, Ini Syaratnya
Sebab, anak terpaksa harus bekerja. Ini dilakukan untuk membantu keuangan keluarganya di tengah terjadinya krisis pandemi virus corona atau Covid-19.
"PJJ akhirnya tak optimal karena anak terancam putus sekolah. Ancaman putus sekolah ini riil bisa berdampak seumur hidup," kata Nadiem di Jakarta pada Jumat (7/8/2020).
Terkait hal tersebut, lanjut Nadiem, persepsi orang tua juga berubah karena mereka tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar apabila proses pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.
Dampak negatif yang kedua, berpotensi menurunkan capaian belajar. Hal itu disebabkan karena kesenjangan akses dan kualitas selama pembelajaran jarak jauh.
Baca Juga: Dirjen Dikti Kemendikbud: Di Data Kita Tidak Ada Nama Profesor Hadi Pranoto
Akibatnya, dapat terjadi kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda.
“Selain itu, ada risiko learning loss. Sebuah studi bahwa pembelajaran di kelas menghasilakn pencapaian akademik yang lebih baik dibandingkan dengan PJJ,” ujar Nadiem.
Terakhir, dampak negatif paling parah yakni menimbulkan kekerasan pada anak dan risiko eksternal.
Dengan tak sekolah, Nadiem menuturkan, banyak anak mengalami kekerasan di rumah yang tidak terdeteksi oleh guru.
Baca Juga: Ada Pandemi Covid-19, Nadiem Makarim: Enggak Boleh Ada yang Drop Out, Mahasiswa Harus Terus Sekolah
“Ada ancaman peningkatan kekerasan anak, stres di dalam rumah karena tak bertemu teman. Ini bisa berdampak psikologis," ujarnya.
Sementara risiko eksternal yakni, ketika anak tidak lagi datang ke sekolah, terdapat peningkatan risiko terjadinya pernikahan dini, eksploitasi anak terutama perempuan dan kehamilan pada remaja.
Karenanya, untuk mencegah terjadinya dampak negatif tersebut akibat pembelajaran jarak jauh, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan dua kebijakan baru.
Pertama, perluasan pembelajaran tatap muka untuk wilayah zona kuning. Artinya, pelaksanaan pembelajaran tatap muka diperbolehkan untuk semua jenjang pendidikan yang berada di zona hijau dan kuning.
Baca Juga: Respons NU dan Muhammadiyah Setelah Nadiem Makarim Minta Maaf Soal Polemik POP Kemendikbud
Kedua, Kemendikbud mengeluarkan kebijakan kurikulum darurat (dalam kondisi khusus). Artinya, sekolah diberikan fleksibilitas untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa.
Meskipun Kemendikbud mengeluarkan kurikulum darurat, satuan pendidikan tidak wajib mengikuti kurikulum tersebut.
Kemendikbud menyediakan tiga opsi: Pertama, tetap menggunakan kurikulum nasional 2013. Kedua, menggunakan kurikulum darurat (dalam kondisi khusus). Ketiga, melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.
"Bagi yang membutuhkan standar lebih sederhana, boleh menggunakan kurikulum darurat. Tetapi, opsi menggunakan kurikulum darurat tidak dipaksa," ujar Nadiem.
Baca Juga: Komnas HAM Minta Menteri Nadiem Evaluasi Kebijakan Biaya Kuliah Penuh di masa Pandemi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.