KOMPAS.TV- Hari Jumat, 7 Juni 2024, pukul 17.00 ketika matahari masih bersinar begitu terang dan panasnya menyengat kulit, di Taman Vatikan yang berumput hijau, peristiwa 10 tahun lalu itu, dikenang. Di taman itu, 10 tahun lalu diselenggarakan ” Doa Perdamaian.” Doa untuk perdamaian di Timur Tengah.
Paus Fransiskus mengingatkan semua yang hadir, para duta besar yang terakreditasi di Takhta Suci–termasuk Dubes Israel Raphael Schutz dan Dubes Palestina Issa Kassissieh, juga wakil komunitas Yahudi dan Muslim Italia–pada peristiwa 10 tahun silam. Dan, terus mengajak semuanya untuk terus tanpa lelah mengupayakan perdamaian terwujud.
Kata Paus, adalah sebuah muslihat kalau berpikir bahwa perang menyelesaikan masalah. Perang adalah kekalahan. Kekalahan kemanusiaan. Dalam peperangan, nilai-nilai kemanusiaan diabaikan, demikian pula martabat manusia. Maka hanya dengan menjunjung tinggi kemanusiaan bersama, dan menempatkan persaudaraan sebagai pusat kehidupan masyarakat, perdamaian akan terwujud dan terjamin.
Sepuluh tahun terasa begitu pendek. Detil-detil peristiwa masih terbaca. Jejaknya masih terlihat. Tapi, selama rentang waktu yang pendek itu banyak peristiwa terjadi: ada momen indah, ada momen buruk; ada peristiwa sedih, ada peristiwa gembira; ada yang menyenangkan, ada yang mengerikan mengerikan.
Baca Juga: Paus Fransiskus Akan Lakukan Kunjungan Apostolik ke Indonesia, Apa Saja Agendanya?
Namun, satu hal yang pasti: perang di Timur Tengah tidak pernah berhenti. Seakan yang dikatakan Sang Pengkhotbah—untuk segala sesuatu ada masanya: ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai–tidak menjadi kenyataan.
Entah berapa banyak nyawa yang melayang di Timur Tengah, khususnya, di tanah Palestina karena perang, yang akhir- akhir ini semakin brutal. Mereka yang memilih jalan perang, berkeyakinan bahwa perang akan menyelesaikan semuanya, akan menyelesaikan masalah. Mereka beranggapan perang adalah segala- galanya. Tapi, senyatanya tidak demikian: sejarah telah mencatatnya. Perang menghancurkan!
***
Sepuluh tahun yang lalu, di tempat yang sama, Paus Fransiskus bersama Presiden Israel Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, berdoa bersama untuk perdamaian Timur Tengah. Itu peristiwa yang tidak hanya mengesankan, tetapi juga bersejarah.
Doa di Taman Vatikan dalam naungan bayang-bayang Basilika Santo Petrus, tempat yang sangat netral secara agama, adalah sebuah acara “di luar politik.” Ini adalah sebuah “jeda politik” dan berdoa berarti memasuki “ruang yang lain”: ruang jauh dari keramaian, jauh dari dendam dan benci, dari permusuhan, dari sumpah serapah, dari kesombongan diri, dari keangkuhan diri; ruang di mana manusia menjadi tak berdaya dan hanya mampu mengemis anugerah, rahmat dari Tuhan.
Maka dalam doa, sikap kerendahan hati menjadi syarat mutlak. Kerendahan hati adalah dasar doa. Karena “kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa.”
Pertama kali dalam sejarah, Vatikan mengundang dua pemimpin yang terlibat konflik untuk doa bersama, yang juga dihadiri Patriark Bartholomew, pemimpin spiritual Kristen Ortodoks. Doa pun dilambungkan dalam tiga bahasa: Arab, Hibrani, dan Italia dengan selingan musik dari tiga tradisi iman.
Ketika kemarin peristiwa itu dikenang, Paus Fransiskus menyegarkan kembali peristiwa yang begitu mengesankan itu. Dua pemimpin negara yang bermusuhan bertemu, bersalaman, berpelukan, dan duduk mengapit Paus: Shimon Peres sebelah kanan Paus dan Mahmoud Abbas sebelah kiri.
Suasana aman dan damai begitu terasa, sedamai taman Vatikan yang ditumbuhi aneka pepohonan, beragam bunga, dan rumput hijau. “Ia membaringkan aku, di padang yang berumput hijau …” begitu tulis pemazmur yang menggambarkan suasana nyaman, aman, dan damai.
Baca Juga: Paus Fransiskus Akan Kunjungi Indonesia dalam Rangka Perjalanan "Apostolik"
Masih segar dalam ingatan, pertemuan itu, hari Minggu, 8 Juni 2014 berlangsung dua minggu setelah Paus mengundang mereka. Undangan disampaikan saat Paus berada di Bethlehem. Kata Paus ketika itu, “Di sini, di tempat lahir Pangeran Perdamaian, saya mengundang Anda, Presiden Mahmoud Abbas, bersama Presiden Shimon Peres, untuk bersama-sama berdoa dengan sepenuh hati kepada Tuhan agar menganugerahkan perdamaian.”
“Tanpa perdamaian, kita belum lengkap. Misi kemanusiaan ini belum bisa kita capai. Bahkan ketika perdamaian terasa masih jauh, kita harus mengupayakannya untuk mendekatkannya,” kata Peres dalam doanya.
“Kami mohon kepada-Mu, ya Allah, perdamaian di Tanah Suci, Palestina, dan Yerusalem. Bersama dengan rakyatnya, kami menyerukan kepada-Mu untuk menjadikan Palestina dan Yerusalem, khususnya, sebagai tanah yang aman bagi semua orang yang beriman, tempat berdoa sebagai ibadah, ” doa Abbas.
Abbas juga menyerukan perlunya “perdamaian yang adil dan komprehensif” dengan Israel; sementara Peres mengatakan, menciptakan perdamaian di Timur Tengah adalah “tugas” dan “misi suci.”
Ketika itu, Paus mengatakan kepada dua presiden yang diundangnya bahwa ia berharap pertemuan di Taman Vatikan itu akan menandai “perjalanan baru” ke arah perdamaian. Kepada keduanya, Paus mengingatkan bahwa perang telah menelan begitu banyak korban jiwa–anak-anak dan perempuan. Maka ia berharap bahwa sekembali mereka ke Israel dan Palestina segera melakukan gencatan senjata: menghentikan perang.
***
Sepuluh tahun telah berlalu, tetapi secercah sinar perdamaian pun belum tampak di Palestina, yang nampak justru sebaliknya: awan gelap menaungi Bumi Palestina. Tapi Paus terus mengajak semua pihak untuk terus berusaha mewujudkan perdamaian, walaupun sangat sulit. Sehingga dengan demikian, negara Palestina dan Israel dapat hidup berdampingan secara damai; meruntuhkan tembok permusuhan dan kebencian.
Paus juga mengajak, semua pihak untuk “menghormati Yerusalem” sehingga menjadi kota pertemuan persaudaraan di antara umat Yahudi, Kristen, dan Muslim, yang dilindungi oleh status khusus yang dijamin secara internasional.”
Kata Paus, kita hanya “membohongi diri sendiri” kalau berpikir bahwa “perang dapat mengatasi persoalan dan membawa perdamaian.” Perdamaian, kata Paus, tidak dapat diwujudkan hanya dengan menandatangani kesepakatan, atau dengan kompromi-kompromi politik dan manusia.
Perdamaian lahir dari hati yang mengalami transformasi, yang telah diubah, dan muncul ketika masing- masing telah bertemu dan disentuh oleh kasih Tuhan, yang melenyapkan keegoisan kita, menghancurkan prasangka kita dan memberi kita rasa dan kegembiraan persahabatan, persuadaraan, dan solidaritas timbal balik.
Kata Paus tegas, “Tidak ada perdamaian, jika kita tidak membiarkan Tuhan sendiri terlebih dahulu melucuti hati kita, dan menjadikan hati kita ramah, penuh kasih sayang, dan penuh belas kasih.” Karena itu, “kita perlu waspada dan kritis terhadap ideologi yang sayangnya dominan saat ini, yang mengklaim bahwa konflik, kekerasan, dan kehancuran adalah bagian fungsi normal suatu masyarakat.”
Semoga kita tidak berhenti memimpikan perdamaian, yang memberi kita kegembiraan yang tak terduga karena merasa menjadi bagian dari satu keluarga. Mari kita memohon kepada Tuhan agar para pemimpin negara dan pihak-pihak yang berkonflik dapat menemukan jalan menuju perdamaian dan persatuan. Semoga kita semua saling mengenali sebagai saudara dan saudari.
Baca Juga: Direncanakan Berkunjung September Mendatang, KWI: Paus Fransiskus ke Indonesia Perkuat Persaudaraan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.