Dalam tempo seminggu, saya dua kali bertemu Paus Fransiskus. Kedua pertemuan dilakukan di tempat yang sama: ruang kerja Paus di Istana Kepausan.
Yang pertama, pada tanggal 11 Desember 2023, saat saya menyerahkan Letter of Credence, Surat Kepercayaan Presiden Jokowi kepada Paus Fransiskus. Dan yang kedua, tanggal 18 Desember 2023, ketika mendampingi Presiden Kelima RI Ibu Megawati Soekarnoputri.
Megawati berada di Roma, untuk menghadiri pertemuan Dewan Juri Zayed Award for Human Fraternity. Penghargaan Zayed dianugerahkan kepada seseorang atau entitas yang tidak hanya mengakui persaudaraan manusia tetapi terlebih lagi memperjuangkan dan memelihara nilai-nilai persaudaraan manusia.
Penganugerahan ini merupakancontoh belas kasih dan solidaritas kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk mendukung dan mendorong hidup berdampingan secara damai di semua tingkatan.
Pemberian Zayed Award ini sebagai salah satu bentuk untuk mewujud-nyatakan deklarasi Human Fraternity for World Peace and Living Together yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb.
Deklarasi itu ditandatangani pada tanggal 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Maka sering disebut sebagai Deklarasi Abu Dhabi.
Deklarasi mendesak para pemimpin agama dan politik untuk mengakhiri perang, konflik, dan perusakan lingkungan. Menurut Deklarasi Abu Dhabi, “salah satu penyebab paling penting dari krisis dunia modern” adalah karena (manusia) “menjauhkan diri dari nilai-nilai agama.” Deklarasi juga mengecam “ekstremisme agama.”
Nama penghargaan ini, “Zayed Award”, diambil dari nama Presiden pertama Uni Emirat Arab (UEA) Sheik Mohammed bin Zayed bin Sultan Al-Nahyan, penguasa Abu Dhabi. Sheik Zayed adalah salah satu inisiator Deklarasi Abu Dhabi.
***
Hari itu, dua kali Megawati beraudiensi dengan Paus: bersama dewan juri Zayed Award dan audiensi khusus. Waktunya berturutan, Senin pagi.
Kata Sekjen yang juga juri Zayed Award, Mohamed Abdelsalam, Megawati dipilih menjadi juri antara lain karena dinilai ahli dalam bidang pembangunan perdamaian dan hidup berdampingan antar-umat manusia secara damai. Abdelsalam mengingatkan, pada tahun 2004, oleh majalah Forbes, Megawati ditempatkan pada peringkat kedelapan dari 100 perempuan “powerful” di dunia.
Selain Megawati, juri lainnya adalah mantan Direktur Jenderal Unesco dan Menlu Bulgaria Irina Bokova; Presiden Commission on International Religious Freedom AS, Rabbi Abraham Cooper; dan Prefek Emiritus Diskasteri Gereja-gereja Oriental Kardinal Leonardo Sandri, serta Mohammed Addelsalam.
Saat beraudiensi khusus, saya, salah satu yang mendampinginya. Romo Markus Solo SVD, putra Flores yang bekerja di Dewan Kepausan Vatikan untuk bidang dialog antar-umat beragama, menjadi penerjemahnya.
Pertemuan antara Paus dan Megawati yang didampingi Ketua DPR Puan Maharani, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, mengingatkan pertemuan Presiden Pertama RI Soekarno dengan Paus.
Tiga kali Bung Karno berkunjung ke Vatikan. Pada kunjungan pertama, 13 Juni 1956, Bung Karno menerima medali pertama dari Paus Pius XII. Medali kedua diterimanya pada 14 Mei 1959 dari Paus Yohanes XXIII. Pada tanggal 12 Oktober 1964, Bung Karno menerima medali ketiganya dari Paus Paulus VI.
Mengapa Vatikan menganugerahkan medali pada Bung Karno? Tentu, karena apa yang sudah dilakukan dan jasa-jasa Bung Karno. Vatikan tahu, walau mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun keberadaan Gereja Katolik di Indonesia tidak hanya diakui, tetapi juga diterima dan dihormati. Itu karena Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi negara.
Vatikan berterima kasih karena Presiden Soekarno yang memperlakukan Gereja Katolik di Indonesia dan karya misionaris dengan sangat baik. Itu juga karena Indonesia memiliki dan betul-betul menghayati serta melaksanakan nilai-nilai ideologi Pancasila.
Persahabatan Bung Karno dengan Gereja Katolik, memiliki sejarah panjang. Di zaman perjuangan, ketika Bung Karno diasingkan ke Ende oleh penguasa kolonial, Gubernur Jenderal De Jonge (1933), di situlah bertemu, berkenalan, lalu bersahabat dengan para rohaniwan Katolik. Empat tahun, Bung Karno tinggal di Kampung Ambugaga, Kalurahan Kotaraja, Ende, NTT.
Daniel Dhakidae (Prisma, Vol.32, No.2 dan 3, tahun 2003), antara lain menceritakan, di Ende Bung Karno bertemu dan lalu bersahabat dengan, antara lain, pastor Gerardus Huijtink SVD, yang menyediakan buku-buku bacaan dan menjadi teman diskusi.
Buku yang dibaca Bung Karno antara lain, ensiklik atau surat edaran Paus Leo XIII, yang berjudul Rerum Novarum atau Hal-hal Baru, kadang diartikan Zaman Baru. Ensiklik yang terbit pada 15 Mei 1891 tersebut membahas kondisi kelas pekerja, sekaligus menanggapi perkembangan dan revolusi industri yang menyebabkan muncul banyak pabrik.
Dari Rerum Novarum itu, Bung Karno mendapat inspirasi sosialisme Katolik. Yang disampaikan Rerum Novarum tersebut selaras dengan pemikirannya yang menangkap kelemahan kapitalisme.
Bung Karno juga membaca Ensiklik berjudul Quadragesimo Anno“, Sesudah 40 Tahun, yang dikeluarkan Paus Pius XI pada 15 Mei 1931. Ensiklik ini menegaskan tentang arti penting ius proprietatis atau hak milik dan iustitia socialis atau keadilan sosial; memberi kepada semua dan setiap orang apa yang adil.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.