MEMANG, KTT G20 seperti dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), "G20 tidak dimaksudkan untuk menjadi forum politik, (tetapi) dimaksudkan untuk membahas ekonomi dan pembangunan.” Tetapi, tidak mudah kiranya "mensterilkan" urusan/kepentingan politik dari urusan ekonomi.
Apalagi saat ini, urusan politik, kepentingan politik memberikan sumbangan besar - untuk tidak mengatakan, sumbangan penentu - pada memburuknya perekonomian global, yang menjadi keprihatinan bersama negara-negara G20; dan negara-negara di luar G20.
Adalah invasi Rusia pada Ukraina, Februari lalu, yang berdampak buruk pada perekonomian dunia, yang sebelumnya sudah "dihajar" (bahkan belum selesai) oleh pandemi Covid-19. Rusia menginvasi Ukraina karena merasa memiliki ikatan budaya, ekonomi, dan politik yang mendalam dengan Ukraina. Dan, dalam banyak hal Ukraina merupakan pusat identitas dan visi Rusia untuk dirinya sendiri di dunia.
Ukraina adalah cornerstone Uni Soviet, musuh bebuyutan Amerika Serikat (AS) selama Perang Dingin. Setelah Rusia, Ukraina adalah wilayah terpadat kedua penduduknya dan terkuat dari antara (dulu) 15 republik Soviet.
Ukraina juga merupakan sumber produksi pertanian, industri pertahanan, dan militer, termasuk Armada Laut Hitam dan beberapa persenjataan nuklir. Ukraina sangat penting bagi Soviet sehingga keputusannya untuk memutuskan hubungan pada tahun 1991, terbukti menjadi coup de grace bagi super power yang sedang limbung (Council on Foreign Relations, 11 Oktober 2022).
Akibat perang itu dirasakan oleh banyak negara, termasuk negara-negara anggota G20; dan bukan hanya oleh Ukraina saja. Bila perang berlarut-larut, upaya untuk memperbaiki perekonomian dunia, sulit terwujud.
Karena perang Ukraina telah menghidupkan kembali dua kekuatan besar dengan kekuatan yang mematikan, saling berhadapan seperti saat Perang Dingin.
Presiden Jokowi melihat ancaman tersebut. Maka pada pidato pembukaan KTT G20, Jokowi secara tegas meminta para pemimpin G20 untuk menunjukkan kebijaksanaan dan tidak membiarkan dunia “terjerumus ke dalam Perang Dingin lagi.”
Kata Jokowi, “Kita harus mengakhiri perang. Jika perang tidak berakhir, akan sulit bagi dunia untuk bergerak maju." Bagaimana memulihkan dan membangun perekonomian dunia, kalau perang terus berkobar yang akibat parahnya dirasakan banyak negara, termasuk negara maju.
Meski tidak menyebut "perang Ukraina" secara langsung, namun semua pihak menangkap maksudnya, bahwa yang dimaksud adalah perang Ukraina yang pecah karena invasi (operasi militer khusus) Rusia.
Jokowi - yang pada Juni lalu mengunjungi Kyiv, Ukraina, bertemu Presiden Volodymyr Zelenskyy dan ke Moskwa, Rusia bertemu Presiden Vladimir Putin, sebagai upaya untuk mengakhiri perang - dalam pidatonya juga secara langsung tidak "menuding" Rusia sebagai, katakanlah "biang kerok", persoalan dunia saat ini? Tidak satu patah kata pun kata Rusia disebut. Meskipun, dibacanya demikian. Dan, sangat boleh jadi, Putin pun merasakan demikian.
(Maka ia memilih tidak menghadiri KTT G20 di Bali, daripada akan menjadi sasaran tembak banyak pemimpin negara lain, dituding sebagai pembuat masalah. Bila hal itu terjadi dan dia menanggapinya, maka suasana KTT pun akan rusak. Ini akan sangat merugikan tuan rumah).
Pilihan kalimat, "kita harus mengakhiri perang", sungguh sebuah pilihan jalan tengah yang menegaskan spirit independensi kebijakan luar negeri Indonesia. Tidak mudah bagi Jokowi untuk memilih kata-kata bahkan kalimat yang bisa memuaskan kedua belah pihak dan tidak mempermalukan salah satu pihak. Apalagi Jokowi mengakui bahwa "perlu upaya yang luar biasa agar kita dapat duduk bersama di ruangan ini."
Sebagai tuan rumah, sebagai negara yang memegang presidensi G20, Jokowi berusaha untuk bisa ngemong semua pihak; berusaha untuk menyelamatkan muka masing-masing pihak, agar semua merasa menang. Tidak ada satu pun yang merasa dipermalukan dan dikalahkan.
Barangkali, inilah yang disebut dalam falsafah Jawa sebagai nglurug tanpa bolo, menang tanpa ngasorake, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa mempermalukan yang dikalahkan.
Dengan itu, Jokowi sekaligus hendak "memuaskan kedua belah pihak" yang berdiri berseberangan. Di satu sisi, Jokowi "memenuhi" keinginan AS dan sekutunya negara-negara Barat, yang ramai-ramai menuding Rusia sebagai sumber persoalan dunia, maka harus dikutuk, condemn.
Keinginan AS dan sekutunya itu dipenuhi dengan mengatakan "perang harus dihentikan" dan "kita tak boleh membiarkan dunia jatuh ke dalam Perang Dingin lagi." AS dan sekutunya pun semestinya "dipuaskan" dengan pernyataan Jokowi agar (semua negara) bertanggung jawab. Yang artinya menghormati hukum internasional dan prinsip-prinsip Piagam PBB secara konsisten.
Piagam PBB pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa setiap negara mempunyai persamaan kedaulatan. Karena itu, tidak ada suatu negara pun yang mempunyai hak melakukan intervensi baik fisik maupun nonfisik, langsung maupun tidak langsung, terhadap urusan domestik negara lain.
Invasi militer Rusia ke Ukraina adalah sebuah tindakan tidak menghormati hukum internasional (melanggar kedaulatan negara lain) dan melanggar prinsip-prinsip PBB secara konsisten. Tetapi, Jokowi tidak menyebut yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina, secara langsung.
Ini adalah cara Jokowi untuk tidak ingin membuat Rusia (Putin) terpojok, meski sudah dipojokkan negara-nagara lain. Sebab bila dipermalukan dan terpojok, Putin (mungkin) bisa menjadi lebih nekat dan mungkin akan berdampak buruk pula terhadap hubungan dua negara.
Maka dalam pidatonya, Jokowi tidak mengutuk, meng-condemn Rusia, walau jelas sebagai penyebab perang. Tapi lebih memilih mengingatkan bahaya dahsyat bagi dunia dan generasi mendatang akan terjadi bila perang tidak dihentikan. "Hentikan perang!"
Semestinya AS dan sekutunya puas dengan apa yang disampaikan Jokowi. Demikian juga Rusia (Putin) pun semestinya merasa dan menyadari bahwa apa yang telah dilakukan tidak hanya tidak dikehendaki dunia, tetapi bahkan telah merugikan dunia.
Karena itu, Putin perlu segera menghentikan perang agar tidak tercatat sebagai pemimpin dunia yang menghancurkan dunia.
Jika yang disampaikan Jokowi tidak ditindaklanjuti dengan aksi nyata oleh semua negara anggota G20, maka bisa jadi seruan tersebut akan dianggap sebatas retorika semata. Misalnya, membujuk China dan India yang boleh dikatakan sebagai "mitra" Rusia untuk bertindak lebih bijak dalam masalah ini, sehingga memaksa Rusia lebih "bertanggung jawab" sebagaimana dirumuskan Jokowi. Ini sebagai sebuah langkah nyata.
Kata Jokowi, “Kita tidak hanya bicara, tapi mengambil langkah konkret.” Sebab, mata dunia tertuju pada KTT G20.
Apakah KTT akan mencapai kesuksesan, atau akankah menambah kegagalan? "Bagi saya sendiri, G20 harus berhasil, dan tidak boleh gagal,” katanya.
“Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa bijak, memikul tanggung jawab, dan menunjukkan kepemimpinan. Mari kita bekerja, dan mari bekerja sama untuk dunia.”
Seruan dan ajakan Jokowi itu akan tercermin dalam Deklarasi Bali yang dikeluarkan hari ini. Apakah semangat meng-condemn Rusia masih ada dalam deklarasi atau seperti kata Jokowi para pemimpin negara G2O memilih bertindak bijaksana dengan memilih win-win bukan zero sum.
Situasi win-win atau menang-menang, juga disebut non-zero-sum, bukan menang-kalah adalah situasi di mana kerja sama, kompromi, atau partisipasi kelompok menghasilkan keuntungan bagi semua peserta. Ini berbeda dengan zero-sum atau situasi menang-kalah, di mana faktor dominannya adalah setidaknya satu orang menang sementara yang lain kalah.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.