Kompas TV kolom opini

Beginilah Sekarang Demokrasi Mati

Kompas.tv - 7 November 2020, 11:33 WIB
beginilah-sekarang-demokrasi-mati
Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020. (Sumber: Pixabay)

Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

Amat menarik, banyak orang —sekurang-kurangnya berseliweran di media sosial— menyandingkan atau bahkan menyamakan “kegegap-gempitaan, kehiruk-pikukan, dan kekerasan serta keganasannya” Pemilu 2020 di AS dengan Pemilu 2019 di Indonesia. Bahkan, klaim menang sebelum penghitungan suara usai pun terjadi di AS. Donald Trump mengklaim telah memenangi pemilu.

Trump mengklaim sudah menang jauh sebelum perolehan electoral college mencapai jumlah yang minimal disyaratkan untuk menang yakni 270. Dan, ia juga menuduh bahwa Demokrat berusaha “mencuri” pemilu, perolehan suaranya. Karena itu, Trump menyerukan agar penghitungan suara dihentikan.

Klaim semacam itu —sebelum penghitungan suara selesai semua— tidak wajar, tidak biasa dilakukan seorang kandidat dalam kontestasi politik di negara demokrasi. Apalagi negara demokrasi maju, seperti AS. Bagi AS, klaim semacam itu bisa dikatakan bukan tradisi mereka. Tradisi yang hidup adalah, yang kalah menelepon yang menang: mengaku kalah dan mengucapkan selamat.

Pada Pemilu 2016, Hillary Clinton yang dikalahkan Donald Trump —meskipun memenangi lebih banyak popular votes, suara rakyat (65.844.610 suara atau 48,2 persen) dibandingkan Trump (62.979.636 suara atau 46,1 persen), tetapi kalah dalam electoral college; Hillary (232) dan Trump (306)— menelepon Trump dan mengakui kekalahannya.

Ketika itu, Hillary Clinton kepada para pendukungnya mengatakan, “Donald Trump akan menjadi presiden kita. Kita menerimanya dengan pikiran terbuka dan memberikan kesempatan untuk memimpin.”  Dia melanjutkan, “Konstitusi kami mengabadikan alih kekuasaan secara damai. Dan kami tidak hanya menghormatinya, kami menghargainya.”

Selesai sudah. Tidak ada gugat-gugatan. Tidak ada demo yang disertai bakar-bakaran dan tindakan anarkis seperti sekarang ini yang terjadi di banyak negara bagian (dan seperti yang kerap kali terjadi di negeri kita). Trump menjadi presiden, Hillary Clinton undur diri dari panggung politik. Itulah demokrasi.

Dalam esai Creative Democracy: The Task Before Us (1939), J Dewey menulis, demokrasi adalah cara hidup, pengalaman yang didasarkan pada keyakinan pada sifat manusia, kapasitas manusia untuk membuat penilaian yang cerdas, dan bekerja dengan orang lain. Dalam pandangan Dewey, demokrasi adalah cita-cita moral yang menuntut upaya sehari-hari untuk mencipta.

Bagi Dewey, demokrasi bukanlah konsep kelembagaan yang ada di luar kita. “Tugas demokrasi,” tulisnya, “selamanya adalah penciptaan pengalaman yang lebih bebas dan lebih manusiawi di mana semua berbagi dan semua berkontribusi.” Memang, ada yang menyebut rumusan demokrasi Dewey itu sebagai utopian ideal.

Akan tetapi, barangkali dari perspektif inilah Hillary Clinton dulu melangkah. Walau sakit dan sangat kecewa, tetap mengakui kekalahannya. Kehidupan berjalan. Bahwa yang terjadi kemudian di zaman pemerintahan Trump melenceng dari pengertian demokrasi itu soal lain lagi. Banyak pihak mengatakan bahwa pilar-pilar demokrasi Amerika makin hancur.

Masa kepresidenan Donald Trump, (bahkan sejak kampanye untuk Pemilu 2016) secara terbuka mencemooh lembaga-lembaga inti pemerintahan demokratis: pers independen, peradilan, birokrasi, validitas pemilu, legitimasi kontestasi demokratis, dan sentralitas fakta wacana topolitik. Dengan semboyan “Make America (not the US) Great Again… … where all ‘real’ Americans are white Americans”, menjelaskan sifat rasismenya.

Melihat pemilu AS saat ini dengan sedikit mengenang apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 2019, juga menarik. Suka tidak suka —artinya tidak suka juga boleh dan sah-sah saja— jalan yang diambil Jokowi, mengerem mendadak ketika “mobil” sedang menikung dan menanjak tajam, lalu turun dari mobil kemudian mendekati “mobil” Prabowo, adalah sebuah tindakan yang harus dipuji. Tindakan itu telah menyelamatkan Indonesia dari perpecahan.

Pemilu yang demikian panas, keras, ganas, bahkan cenderung kasar, banjir hoaks, kabar bohong, kabar palsu, caci-maki, fitnah, pelecehan, tindakan anarkis, dan segala bentuk tindakan yang tidak mencerminkan kesantunan manusia Indonesia, bisa dihentikan.

Jokowi mengajak Prabowo Subianto dan partainya, Partai Gerindra untuk bergabung dalam kabinet pemerintahan. Prabowo, yang pasti sepikiran dengan Jokowi —menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, polarisasi yang tajam dalam segala tingkat masyarakat dan golongan adalah paling penting— menerima ajakan itu.

Para pendukungnya? Ada yang setuju, ada yang tidak. Ada yang suka, ada yang kecewa. Ada yang diam saja, ada yang nggerundel, menggerutu. Ada pula yang kemudian membentuk “barisan kelompok kecewa” dalam berbagai bentuk, dalam berbagai kostum atau jubah serta terus menggelar aksi. Yang lebih berpikiran jernih juga waras, dan cinta negeri, lebih memilih memberikan kesempatan kepada kedua tokoh itu untuk bekerja dan menyelamatkan serta membangun Indonesia.

Tetapi, ada yang berpendapat, “gila Jokowi memelihara anak macan, bisa-bisa diterkam sendiri.” Wajar. Tetapi, ribuan tahun silam, Nabi Yesaya (Isaiah) menulis, “Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung, dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak.” Situasi damai.

Itulah Indonesian Way atau mungkin Jokowi’s Way. Semuanya diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Adem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.

Musyawarah yang berarti berunding dan berembuk. Musyawarah dilakukan untuk mencapai mufakat atau persetujuan bersama. Dan, musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan bagian dari demokrasi Pancasila.

Tentu, yang terjadi di AS yang selama ini dianggap —dan AS juga menganggap dirinya sendiri sebagai benteng demokrasi dunia— berbeda dengan yang di Indonesia. Ketika Konstitusi AS diratifikasi pada tahun 1789 (ditulis mulai tahun 1787), Amerika menjadi negara demokrasi modern pertama di dunia.  

Sementara itu, sebagian besar bentuk pemerintahan di seluruh dunia adalah monarki atau monarki absolut. Karena itu, konstitusi AS menjadi model bagi banyak negara yang telah mendirikan negara demokrasi, tentu dengan interpretasi sendiri-sendiri.

Kini, waktu telah berlalu dan demokrasi Amerika mungkin tidak lagi menjadi model dunia. Apalagi, pada awal 2016, dalam peringkat tahunan demokrasi di 167 negara, misalnya, The Economist mengklasifikasi demokrasi AS sebagai flawed democracy, “demokrasi yang cacat” (sebagai lawan dari “demokrasi penuh”). Hal itu sebagian besar karena terkikisnya kepercayaan publik terhadap politik Amerika seperti didokumentasikan lembaga survei allup, Pew, dan lain-lain (Economist Intelligence Unit 2016).

Tidak semua orang Amerika memiliki optimisme yang sama tentang kondisi demokrasi di negerinya. Banyak yang pesimistik dan khawatir. Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh “Pew Research Center”, 59 persen orang Amerika “tidak puas” dengan cara kerja demokrasi di negaranya. Hanya 46 persen orang yang setuju bahwa negara “dijalankan untuk kepentingan semua.” Dan hanya seperempat warga AS yang percaya bahwa sistem demokrasi Amerika semakin kuat, menurut survei Proyek Demokrasi. Enam puluh delapan persen berpikir demokrasi semakin lemah (The Christian Science Monitor, November 2020).

Hal itu antara lain terjadi lantaran separangkat norma dalam demokrasi yang semestinya ditaati, telah diabaikan di zaman Trump ini. Norma-norma ini antara lain mencakup rasa saling menghormati di seluruh lini partai di dalam badan legislatif, toleransi terhadap perbedaan pendapat politik yang kuat.

Norma-norma tersebut semestinya mengikat para pemimpin politik dalam bertindak dan berpendapat, serta menanamkan harapan pada warga negara tentang bagaimana pemerintahan demokratis harus dilaksanakan. Di Amerika Serikat, norma-norma demokrasi yang kritis —termasuk prinsip dan praktik kesetaraan ras dan gender, kebebasan pers, dan persaingan politik yang adil dan terbuka— belakangan ini semakin tercederai. Hak asasi terus mengguncang politik Amerika.

Bahkan The New Yorker (28 September 2020) menulis bahwa penghinaan (contempt) telah menjadi ciri masa pemerintahan Trump: penghinaan terhadap Konstitusi; penghinaan terhadap kebenaran dan perbedaan pendapat; penghinaan terhadap wanita dan orang kulit berwarna; penghinaan terhadap para pendukung hak-hak sipil. Penghinaan Trump terhadap sains dan kesejahteraan dasar orang Amerika begitu mendalam sehingga, melalui kombinasi ketidakmampuan, ketidakpedulian, dan kebodohan, Trump gagal mengatasi pandemi Covid-19. Korban tewas mencapai lebih dari dua ratus ribu orang.

Selain itu, norma dalam hidup berdemokrasi juga mencakup penghormatan terhadap legitimasi pemilu. Hal itu yang sekarang ini menjadi persoalan. Berbagai kerusuhan yang terjadi di sejumlah negara bagian berkait dengan penghitungan dan hasil pemilu, menjelaskan hal itu. Barangkali, ini kali yang pertama dalam sejarah AS, pemilu benar-benar telah membelah bangsa Amerika menjadi Biru dan Merah, nyaris sama seperti yang terjadi di negeri ini (Indonesia) pada pemilu lalu.

Tidak berlebihan karena itu, kalau dikatakan bahwa “menara demokrasi itu sekarang mulai miring ke kanan. Belum roboh.” Demokrasi itu rapuh. Seperti yang ditulis John Quincy Adams pada tahun 1814, “Demokrasi tidak pernah berlangsung lama… kehabisan tenaga, dan bunuh diri. Belum pernah ada demokrasi, yang tidak bunuh diri.”

Semua itu terjadi bila lingkungan tidak memberikan iklim yang membuat demokrasi tumbuh subur. Musuh demokrasi adalah mereka yang mementingkan diri sendiri, yang mengeksploitasi rasa takut pihak lain untuk mengamankan dan memperluas kekuasaannya. Musuh demokrasi adalah otoritarianisme.

“Beginilah demokrasi sekarang mati,“ tulis para penulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018). ”Kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara.”




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x