Curah hujan tinggi membuat banyak daerah terisolasi, mempersulit proses evakuasi dan bantuan kemanusiaan.
Bencana banjir kali ini terjadi di tengah kondisi politik yang tidak stabil di Myanmar.
Sejak kudeta militer pada Februari 2021, ribuan warga terpaksa mengungsi akibat meningkatnya konflik antara militer dan kelompok-kelompok yang menentang pemerintahan junta.
Meskipun pemerintah Myanmar sebelumnya menolak bantuan internasional, termasuk setelah siklon Mocha menghantam Negara Bagian Rakhine pada Mei 2023, kali ini pihak militer mengeluarkan seruan langka yang meminta bantuan dari luar negeri.
Pihak OCHA menyatakan, ada kebutuhan mendesak akan pasokan makanan, air bersih, obat-obatan, pakaian, dan tempat tinggal bagi para korban.
Namun, upaya tanggap darurat terkendala oleh infrastruktur yang rusak, seperti jalan dan jembatan yang hancur, serta telekomunikasi yang tidak stabil.
Selain itu, pihak OCHA juga mengingatkan, krisis ini diperparah oleh kurangnya pendanaan.
Hanya 25 persen dari total anggaran tanggap darurat untuk Myanmar tahun ini yang telah terpenuhi.
“Situasi ini memerlukan perhatian internasional untuk mencegah lebih banyak korban jiwa dan memulihkan kondisi masyarakat terdampak,” tegas pihak OCHA dalam pernyataannya.
Baca Juga: Korban Jiwa Akibat Topan Yagi di Vietnam Meningkat Menjadi 233 Orang
Sumber : Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.