JAKARTA, KOMPAS.TV — Puluhan remaja Korea Utara dilaporkan dieksekusi gara-gara ketahuan menonton drama Korea Selatan atau drakor.
Laporan media Korea Selatan, Chosun TV dan Korea JoongAng Daily, seperti dilansir Business Insider menyebutkan, sekitar 30 pelajar sekolah menengah pertama ditembak mati di depan umum pekan lalu karena menonton drakor.
Menurut laporan, pelajar-pelajar tersebut menonton drakor yang disimpan di USB yang diselundupkan melewati perbatasan oleh para pembelot Korea Utara.
Meski begitu, Business Insider tidak dapat memverifikasi laporan tersebut secara independen.
Pejabat Korea Selatan tidak berkomentar langsung mengenai laporan tersebut.
Namun, menurut Korea JoongAng Daily, seorang pejabat tanpa nama dari Kementerian Unifikasi Korea Selatan menyatakan "diketahui secara luas otoritas Korea Utara secara ketat mengontrol dan menghukum keras warga berdasarkan tiga hukum 'jahat'."
Salah satu hukum tersebut adalah Undang-Undang Penolakan Ideologi dan Budaya Reaksioner Korea Utara. Undang-undang itu disebut melarang penyebaran media yang berasal dari Korea Selatan, Amerika Serikat, atau Jepang.
Tidak jelas apakah pembatasan itu berlaku bagi orang asing yang berkunjung ke negara tersebut, seperti anak-anak sekolah Rusia yang sedang bersiap untuk menghadiri kamp musim panas di Korea Utara.
Greg Scarlatoiu, Direktur Eksekutif Komite Hak Asasi Manusia di Korea Utara, mengatakan "di bawah keadaan yang diciptakan oleh pengetatan informasi dari dunia luar, yang awalnya dilakukan dengan dalih Covid, laporan ini sangat mungkin terjadi."
Baca Juga: Hadapi Ancaman Korea Utara, AS dan Korea Selatan Tandatangani Pedoman Pencegahan Nuklir
Ini bukan kali pertama warga Korea Utara dilaporkan dibunuh karena berhubungan dengan konten Korea Selatan.
Laporan Sekretaris Jenderal PBB tahun 2022 menyebutkan seorang pria di Provinsi Kangwon dieksekusi oleh regu tembak publik setelah unit pengawas lingkungannya melihat dia menjual konten digital dari Korea Selatan.
Laporan tahun 2024 tentang Hak Asasi Manusia Korea Utara, yang dirilis oleh Kementerian Unifikasi Korea Selatan, mengeklaim ponsel di Korea Utara secara rutin diperiksa, dan mengenakan gaun pengantin warna putih dihukum sebagai "reaksioner".
Sebuah video yang dirilis awal tahun ini juga mengungkapkan, dua remaja dijatuhi hukuman 12 tahun kerja paksa karena menonton video K-pop.
Meskipun ada kesaksian dari Amnesty International, pemerintah Korea Utara menyangkal eksekusi publik terjadi di negara tersebut. Menurut otoritas Korea Utara, eksekusi terakhir terjadi pada tahun 1992.
Korea Utara masih secara teknis berperang dengan Korea Selatan karena konflik mereka di tahun 1950-an berakhir dalam gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Seorang pembelot mengatakan kepada media Korea Selatan, Korea Herald, pada tahun 2020, orang tua di Korea Utara dipaksa menandatangani perjanjian bahwa mereka akan memastikan anak-anak mereka tidak menonton "konten video tidak murni" di rumah.
Baca Juga: Korea Selatan Kerahkan Senjata Laser Canggih untuk Hadang Drone Korea Utara
Sumber : Business Insider
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.