ISTANBUL, KOMPAS.TV - Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry menegaskan Mesir tetap setia pada perjanjian damai dengan Israel, Senin (12/2/2024). Sebelumnya, dua pejabat Mesir dan satu diplomat Barat memberitahu media Barat bahwa Mesir mungkin akan membatalkan perjanjian damai jika Israel menyerang Rafah.
Shoukry menyampaikan, "Ada perjanjian damai antara Mesir dan Israel yang telah berlangsung selama 40 tahun terakhir. Kami menjalaninya dengan keyakinan dan efektivitas, dan kami akan terus melakukannya di tahap ini."
Pernyataan ini disampaikan Shoukry dalam konferensi pers bersama dengan rekan sejawatnya dari Slovenia, Tanja Fajon, di Ibu Kota Ljubljana, seperti yang dilaporkan Anadolu pada Senin malam (12/2).
Pernyataan ini muncul menyusul laporan sebelumnya dari media AS yang menyebutkan bahwa Kairo mengancam akan menghentikan perjanjian damainya dengan Israel sebagai respons terhadap rencana serangan darat di kota Rafah, dekat perbatasan Mesir.
Perjanjian Camp David tahun 1979, yang ditandatangani oleh Mesir dan Israel, mengakibatkan penarikan mundur Israel dari Semenanjung Sinai.
Shoukry menjelaskan, Mesir saat ini tengah berusaha melakukan mediasi antara Hamas dan Israel untuk membebaskan sandera dan memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Militer Israel berencana meluncurkan serangan darat di Rafah, yang dihuni oleh lebih dari 1,4 juta penduduk yang mencari perlindungan dari konflik. Israel menyebutnya sebagai tindakan terakhir untuk mengatasi sisa "batalion Hamas."
Baca Juga: Mesir Ancam Israel jika Serang Rafah, Bakal Hentikan Kesepakatan Damai dengan Zionis
Warga Palestina mencari perlindungan di Rafah sejak Israel memulai serangan di Gaza sejak 7 Oktober. Serangan tersebut telah membunuh lebih dari 28.340 orang warga sipil Palestina di Gaza dan menyebabkan kerusakan massal serta hilangnya bahan pokok.
Dua pejabat Mesir dan seorang diplomat Barat memberitahu The Associated Press pada Minggu (11/2) bahwa Mesir mungkin akan membatalkan perjanjian damai jika Israel menyerang Rafah.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan Rafah adalah benteng terakhir Hamas dan meyakini penyerbuan pasukan darat ke Rafah diperlukan untuk mengalahkan Hamas.
Meski demikian, Mesir dilaporkan menentang langkah apa pun yang dapat mendorong warga Palestina melarikan diri ke wilayahnya. Rafah juga merupakan jalur utama masuk bantuan kemanusiaan ke Gaza, dan serangan Israel dapat menghambat pengiriman pasokan penting.
Populasi Rafah meningkat dari 280.000 menjadi sekitar 1,4 juta karena ratusan ribu pengungsi Palestina mencari perlindungan di kamp tenda yang tersebar luas di Rafah.
Netanyahu memerintahkan militer untuk merencanakan evakuasi semua warga sipil Palestina sebelum serangan dimulai. Namun, belum jelas ke mana mereka akan diungsikan.
Baca Juga: Bantah Biden, Mesir Tegaskan Perbatasan Rafah Selalu Terbuka Tanpa Syarat bagi Bantuan Kemanusiaan
Meskipun Netanyahu menyatakan mereka dapat kembali ke area terbuka lebih ke utara, area tersebut telah rusak parah akibat serangan Israel.
Bila Mesir membatalkan perjanjian tersebut, ini dapat membuat Israel kehilangan kestabilan di perbatasan selatan. Meski begitu, ini juga akan berdampak serius bagi Mesir yang menerima bantuan militer besar dari AS.
Paige Alexander dari Carter Center menyatakan serangan Israel di Rafah dapat "menyeret dan melibatkan Mesir dalam konflik, yang dapat menjadi bencana bagi seluruh wilayah."
Saat ini, serangan Israel di Gaza membuat 85% penduduk mengungsi dengan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sekitar 60% infrastruktur di Gaza rusak atau hancur, menurut PBB.
Pada akhir 2023, Afrika Selatan mengajukan gugatan di Mahkamah Internasional, menuduh Israel melanggar Konvensi Genosida 1948.
Dalam putusan sementara pada Januari, pengadilan PBB menyatakan klaim Afrika Selatan layak. Pemerintah Israel diinstruksikan untuk menghentikan tindakan genosida dan menjamin bantuan kemanusiaan kepada warga sipil di Gaza.
Sumber : Anadolu
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.