KHAN YOUNIS, KOMPAS.TV - Saat matahari terbit Jumat pagi (20/10/2023) dan panas musim gugur membakar puing-puing membusuk di jalanan Gaza, Mohammed Elian muncul dari lubang ritsleting tenda barunya.
Dia, bersama dengan ratusan warga Palestina lainnya yang terusir akibat perang terbaru antara Israel dan Hamas, berkumpul di sebuah kamp tenda yang jorok di selatan Gaza, gambaran yang memunculkan kenangan trauma terbesar mereka.
Melansir Associated Press, Sabtu (21/10/2023), minggu lalu setelah militer Israel memerintahkan keluarga Elian, bersama lebih dari 1 juta warga Palestina lainnya, untuk mengungsi dari Gaza Utara ke Selatan, desainer grafis berusia 35 tahun yang perlente dari Kota Gaza ini berakhir tanpa tempat tinggal di Khan Younis, hanya membawa matras tipis, pengisi daya ponsel tenaga surya, dan pakaian serta peralatan yang dapat dimasukkan ke dalam mobil temannya.
Tanpa tempat lain untuk pergi, Elian, istrinya, dan empat anaknya akhirnya mendarat di kamp tenda besar yang muncul pekan ini ketika tempat penampungan PBB di Gaza sudah penuh, di mana sebagian besar penduduknya sudah menjadi pengungsi sejak perang tahun 1948 yang melibatkan pembentukan Israel.
"Kami meninggalkan segalanya dan kami bahkan tidak merasa aman," kata Elian dari rumah sakit terdekat di mana ia mencari air untuk dibawa kembali ke anak-anaknya yang berusia 4 sampai 10 tahun. Bunyi keras dari serangan udara bisa terdengar melalui telepon.
Banyak warga Palestina telah kehilangan atau melarikan diri dari rumah mereka selama serangan intensif oleh Israel yang dipicu oleh serangan berdarah Hamas hampir dua minggu yang lalu.
Pembangunan mendadak kamp tenda di Khan Younis demi memberikan perlindungan itu telah memicu kemarahan, ketidakpercayaan, dan kesedihan di seluruh dunia Arab.
Baca Juga: Bantuan Kemanusiaan Akhirnya Masuk Gaza, tetapi Baru 20 Truk dari Kebutuhan 100 per Hari
Barisan tenda putih muncul di lapangan parkir berdebu. Anak-anak duduk di bawah naungan dan bermain dengan batu-batu. Para pria saling mencukur rambut. Tetangga yang baru saling kenal menunggu di luar untuk menerima makanan dari pekerja PBB, beberapa roti dan kaleng tuna atau kacang.
"Gambar-gambar ini adalah sesuatu yang dunia Arab tidak bisa terima," kata Daoud Kuttab, seorang jurnalis Palestina di Yordania.
Pemandangan warga Palestina yang dengan cepat mendirikan tenda-tenda PBB itu mengingatkan pada kenangan yang menyakitkan dari eksodus massal yang oleh Palestina disebut sebagai Nakba, atau "bencana."
Dalam beberapa bulan sebelum dan selama perang tahun 1948, sekitar 700.000 warga Palestina melarikan diri atau diusir dari wilayah yang sekarang disebut Israel. Banyak dari mereka berharap dapat kembali setelah perang berakhir.
Tujuh puluh lima tahun kemudian, tenda-tenda sementara di Tepi Barat, Gaza, dan negara-negara Arab tetangga telah menjadi rumah permanen berbahan bata.
"Tahun 1948 segera terbayangkan ketika warga Palestina di Gaza diminta untuk mengungsi, itu segera terbayangkan ketika Anda melihat gambar-gambar itu (tenda-tenda)," kata Rashid Khalidi, seorang profesor studi Arab di Universitas Columbia. "Penulis Palestina telah mengukir ini ke dalam kesadaran Arab."
Badan pengungsi Palestina PBB mengatakan kamp ini bukanlah tempat tinggal permanen. Mereka mengatakan tenda dan selimut dibagikan kepada puluhan keluarga yang terusir di Khan Younis yang tidak dapat masuk ke fasilitas PBB lainnya "untuk melindungi mereka dari hujan dan memberikan martabat serta privasi."
Baca Juga: Dokter RS Indonesia Sebut Israel Pakai Senjata Tak Biasa: Timbulkan Luka Bakar Derajat IV
Gaza sudah menjadi rumah bagi delapan kamp permanen, yang seiring berjalannya waktu telah berubah menjadi kawasan perkotaan yang padat.
Namun, kecemasan regional atas tenda-tenda Khan Younis dan peringatan evakuasi Israel makin meningkat, memicu protes besar dan amarah di berbagai ibu kota Timur Tengah sejak perang di Gaza dimulai pada 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangannya yang menewaskan 1.400 orang Israel.
Sejak itu, kampanye pengeboman balasan oleh Israel menewaskan lebih dari 4.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola oleh Hamas. Banyak dari korban adalah perempuan dan anak-anak.
"Bagi pemerintah Yordania, ini sangat mengkhawatirkan," kata jurnalis Kuttab. "Mereka tidak ingin melihat sedikit pun gagasan seperti ini."
Protes di kerajaan Yordania yang biasanya tenang, yang menjadi rumah bagi sejumlah besar penduduk keturunan pengungsi Palestina, telah mengguncang ibu kota, menarik ribuan demonstran dengan intensitas yang belum pernah terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Elian begitu stres tentang tempat tidur dan makanan, sehingga dia mengatakan dia tidak punya waktu untuk merenungkan simbolisme. Dia dan keluarganya mencoba mencari perlindungan di salah satu sekolah PBB yang penuh sesak, tapi kondisinya "mengerikan," katanya. Tidak ada ruang untuk tidur, tidak ada privasi. Setidaknya di sini dia bisa menutup pintu tendanya.
"Kami hidup dari satu momen ke momen berikutnya," katanya. "Kami mencoba untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, bagaimana atau kapan kami akan pulang."
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.