Tujuh puluh lima tahun kemudian, tenda-tenda sementara di Tepi Barat, Gaza, dan negara-negara Arab tetangga telah menjadi rumah permanen berbahan bata.
"Tahun 1948 segera terbayangkan ketika warga Palestina di Gaza diminta untuk mengungsi, itu segera terbayangkan ketika Anda melihat gambar-gambar itu (tenda-tenda)," kata Rashid Khalidi, seorang profesor studi Arab di Universitas Columbia. "Penulis Palestina telah mengukir ini ke dalam kesadaran Arab."
Badan pengungsi Palestina PBB mengatakan kamp ini bukanlah tempat tinggal permanen. Mereka mengatakan tenda dan selimut dibagikan kepada puluhan keluarga yang terusir di Khan Younis yang tidak dapat masuk ke fasilitas PBB lainnya "untuk melindungi mereka dari hujan dan memberikan martabat serta privasi."
Baca Juga: Dokter RS Indonesia Sebut Israel Pakai Senjata Tak Biasa: Timbulkan Luka Bakar Derajat IV
Gaza sudah menjadi rumah bagi delapan kamp permanen, yang seiring berjalannya waktu telah berubah menjadi kawasan perkotaan yang padat.
Namun, kecemasan regional atas tenda-tenda Khan Younis dan peringatan evakuasi Israel makin meningkat, memicu protes besar dan amarah di berbagai ibu kota Timur Tengah sejak perang di Gaza dimulai pada 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangannya yang menewaskan 1.400 orang Israel.
Sejak itu, kampanye pengeboman balasan oleh Israel menewaskan lebih dari 4.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola oleh Hamas. Banyak dari korban adalah perempuan dan anak-anak.
"Bagi pemerintah Yordania, ini sangat mengkhawatirkan," kata jurnalis Kuttab. "Mereka tidak ingin melihat sedikit pun gagasan seperti ini."
Protes di kerajaan Yordania yang biasanya tenang, yang menjadi rumah bagi sejumlah besar penduduk keturunan pengungsi Palestina, telah mengguncang ibu kota, menarik ribuan demonstran dengan intensitas yang belum pernah terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Elian begitu stres tentang tempat tidur dan makanan, sehingga dia mengatakan dia tidak punya waktu untuk merenungkan simbolisme. Dia dan keluarganya mencoba mencari perlindungan di salah satu sekolah PBB yang penuh sesak, tapi kondisinya "mengerikan," katanya. Tidak ada ruang untuk tidur, tidak ada privasi. Setidaknya di sini dia bisa menutup pintu tendanya.
"Kami hidup dari satu momen ke momen berikutnya," katanya. "Kami mencoba untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, bagaimana atau kapan kami akan pulang."
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.