Namun, keadaan ekonomi zona Euro yang lebih besar tidak mirip resesi biasa, karena tingkat pengangguran berada pada rekor terendah dan upah secara bertahap mengejar daya beli yang hilang akibat inflasi seiring tuntutan pekerja agar bisa mendapatkan lebih banyak daya beli.
Harga energi turun sejak lonjakan brutal mereka yang terkait dengan perang Rusia di Ukraina, sementara inflasi makanan terus menurun. Inflasi tahunan mencapai 5,3% pada bulan Juli, turun dari puncak 10,6% pada bulan Oktober.
Zona Euro mengalami dua guncangan dari serangan terhadap Ukraina dan pandemi Covid-19. Rusia memutuskan sebagian besar pasokan gas alamnya ke Eropa, membuat harga melambung, yang memicu perlombaan untuk mendapatkan pasokan alternatif walau lebih mahal.
Baca Juga: Jerman Alami Resesi, Pemerintah Optimistis, tapi Warga Tak Belanja dan Pilih Menabung
Pemulihan ekonomi dari pandemi mengangkat harga konsumen karena permintaan akan barang menciptakan kemacetan dalam pasokan bahan baku dan suku cadang, yang sekarang sebagian besar telah mereda.
Harga yang lebih tinggi menyebar ke makanan dan kemudian jasa, kategori luas yang mencakup pangkas rambut dan menginap di hotel hingga perawatan medis dan perbaikan mobil.
Prospek pelemahan pertumbuhan ekonomi membuat beberapa ekonom memprediksi bahwa Bank Sentral Eropa mungkin akan menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga pada hari Kamis setelah sembilan kenaikan berturut-turut.
Presiden ECB, Christine Lagarde, mengatakan keputusan tersebut terbuka dan akan diambil berdasarkan data yang tersedia. Dalam waktu sedikit lebih dari satu tahun, bank sentral ini telah menaikkan suku bunga deposito acuan dari minus 0,5% menjadi 3,75%, kecepatan tertinggi sejak mata uang euro diluncurkan pada tahun 1999.
Penurunan proyeksi Uni Eropa ini datang ketika euro diperdagangkan lebih rendah terhadap dolar AS, sekitar US$1,07 untuk 1 Euro, turun dari sekitar $1,12 pada akhir Juli.
Salah satu alasan adalah kenaikan terus-menerus dolar, yang mencatatkan kenaikan terhadap mata uang utama lainnya selama delapan minggu berturut-turut seiring pasar semakin melihat kelemahan ekonomi di China dan Eropa daripada di Amerika Serikat.
Euro yang lebih lemah dapat mempersulit ECB karena akan meningkatkan harga barang-barang impor, seperti energi, yang dihargai dalam dolar. Di sisi lain, hal itu membuat ekspor Eropa lebih kompetitif dari sisi harga.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.