TOKYO, KOMPAS.TV – Jepang mulai bersiap mengevakuasi warga negaranya dari Sudan, kata pemerintah Jepang hari Rabu, (18/4/2023). Jepang menjadi negara pertama yang secara terbuka mengumumkan rencana menarik warganya dari negara yang dilanda konflik, seperti laporan Straits Times.
Kekerasan antara tentara Sudan dan paramiliter menewaskan hampir 300 orang sejak perebutan kekuasaan selama seminggu meletus menjadi pertempuran mematikan pada Sabtu (15/4) lalu.
Konflik yang intens melibatkan serangan udara, tank di jalanan, tembakan artileri dan tembakan senjata berat di lingkungan yang padat di ibu kota Khartoum dan kota-kota lain.
Sekitar 60 warga negara Jepang berada di Sudan, termasuk staf kedutaan, kata juru bicara pemerintah Hirokazu Matsuno.
Kementerian Pertahanan Jepang memulai "persiapan yang diperlukan" untuk evakuasi, katanya dalam konferensi pers darurat.
“Karena situasi keamanan semakin memburuk, pemerintah melakukan yang terbaik untuk mengamankan keselamatan ekspatriat Jepang,” kata Matsuno.
Baca Juga: Usai 3 Hari Perang dan Ratusan Tewas, Jenderal Sudan Sebut Gencatan Senjata Disepakati
Negara-negara lain mendesak warganya di Sudan untuk memberikan nama dan detail kontak mereka ke kedutaan.
Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Khartoum mulai mengumpulkan informasi pribadi warga sambil mendesak mereka tetap berada di dalam rumah dan menjauh dari jendela.
“Karena situasi keamanan yang tidak menentu di Khartoum dan penutupan bandara, tidak ada rencana evakuasi yang dikoordinasi Pemerintah AS,” cuit kedutaan AS di Khartoum, Sudan
Seruan internasional makin nyaring untuk mengakhiri permusuhan di negara Afrika itu. Para menteri luar negeri Kelompok G7 hari Selasa mendesak gencatan senjata segera antara pasukan yang bertikai.
Kedua belah pihak dipimpin oleh dua jenderal yang merebut kekuasaan dalam kudeta tahun 2021, panglima militer Sudan dan wakilnya, yang memimpin Pasukan Reaksi Cepat paramiliter yang kuat.
Ledakan dan tembakan senjata berat mengguncang ibu kota Sudan pada hari kelima pertempuran pada Rabu setelah gencatan senjata yang ditengahi internasional berantakan.
Baca Juga: Ratusan Pelajar Terjebak di Tengah Pertempuran di Ibu Kota Sudan, Kesulitan Makanan dan Air
Kegagalan gencatan senjata menunjukkan dua jenderal saingan yang berjuang untuk menguasai negara itu bertekad saling menghancurkan dalam konflik yang berpotensi berkepanjangan.
Tanpa tanda-tanda istirahat, rakyat Sudan yang putus asa dan ketakutan mulai melarikan diri setelah terperangkap selama berhari-hari di rumah mereka akibat kekerasan, kata para saksi mata.
Penduduk dari berbagai lingkungan di Khartoum mengatakan kepada The Associated Press, mereka melihat ratusan orang, termasuk perempuan dan anak-anak, membawa barang bawaan, beberapa pergi dengan berjalan kaki, yang lainnya berkerumun di dalam kendaraan.
“Khartoum menjadi kota hantu,” kata Atiya Abdalla Atiya, sekretaris Sindikat Dokter yang masih berada di ibu kota.
Pertarungan para jenderal untuk mendapatkan kekuasaan membuat jutaan orang Sudan terlibat baku tembak, karena pasukan mereka bertempur sejak Sabtu dengan senapan mesin berat, artileri, dan serangan udara di lingkungan perumahan Khartoum, kota tetangga Omdurman, dan kota-kota besar lainnya di negara itu.
Sedikitnya 270 orang tewas dalam lima hari terakhir, kata PBB. Tetapi, jumlah korban kemungkinan lebih tinggi, karena banyak mayat ditinggalkan di jalanan, tidak dapat dijangkau karena bentrokan.
Baca Juga: Penjelasan Pertempuran Sudan: Dua Jenderal Berebut Kuasa, Satu Negara Membara
Gencatan senjata 24 jam seharusnya berlaku sejak matahari terbenam pada Selasa (18/4) hingga matahari terbenam hari Rabu (19/4). Itu adalah upaya paling konkret untuk membuat jeda yang diharapkan dapat diperluas menjadi gencatan senjata yang lebih lama.
Gencatan senjata sehari itu terjadi setelah Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berbicara secara terpisah melalui telepon dengan dua rival, pemimpin angkatan bersenjata Jenderal Abdel Fattah Burhan dan kepala Pasukan Dukungan Cepat paramiliter Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo.
Mesir, yang mendukung militer Sudan, dan Arab Saudi serta Uni Emirat Arab yang memiliki hubungan dekat dengan RSF, juga meminta semua pihak untuk mundur.
Tetapi, pertempuran berlanjut setelah dimulainya gencatan senjata dan sepanjang malam. Masing-masing pihak saling menyalahkan atas kegagalan gencatan senjata tersebut.
Bentrokan sengit antara tentara dan RSF dilaporkan Rabu pagi di sekitar markas militer di pusat Khartoum dan bandara terdekat, serta di sekitar gedung televisi pemerintah di seberang sungai di Omdurman. Bom dan artileri terdengar di sekitar kota.
Sebuah bangunan tinggi di pusat kota terbakar dengan puing-puing yang terbakar jatuh dari lantai atasnya, menurut rekaman oleh jaringan berita Al Arabiya.
“Pertempuran meningkat di pagi hari setelah baku tembak sporadis di malam hari,” kata Tahani Abass, seorang advokat hak asasi terkemuka yang tinggal di dekat markas militer. “Pengeboman dan ledakan mengguncang rumah kami.”
Sumber : Associated Press/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.