FUKUSHIMA, KOMPAS.TV - Menurunnya angka kelahiran di Jepang, berimbas pada dunia pendidikan di negara itu, di mana semakin banyak sekolah yang ditutup.
Salah satu yang mengalaminya adalah murid SMP Eita Sato dan Aoi Hoshi, dimana pada hari kelulusan mereka, sekolah mereka yang berusia 76 tahun itu akhirnya ditutup.
Keduanya merupakan satu-satunya lulusan terbaru dari SMP Yumoto di Ten-ei, daerah pegunungan di sebelah utara Jepang, dan merupakan sekolah terakhir.
“Kami mendengar rumor bahwa sekolah akan ditutup pada tahun kedua kami, tapi saya tak pernah berpikir itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut,” kata Euta, 16 tahun dikutip dari Al-Jazeera, Minggu (2/4/2023).
Baca Juga: Ketahuan Merokok 4.513 Kali saat Kerja selama 14 Tahun, Gaji PNS di Jepang Dipotong Rp163 Juta
Menurunnya angka kelahiran yang lebih cepat di Jepang, membuat sekolah yang ditutup juga semakin banyak.
Salah satu yang terdampak adalah daerah pegunungan seperti Ten-ei, Fukushima, dan memberikan pukulan lebih lanjut ke daerah-daerah yang sudah berjuang dengan depopulasi.
Saat ini angka kelahiran yang terus menurun menjadi salah satu masalah di Asia.
Biaya besar dalam membesarkan anak menekan angka kelahiran juga terjadi di Korea Selatan dan China.
Tetapi situasi di Jepang saat ini dilaporkan sangat kritis.
Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, telah menjanjikan langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk meningkatkan angka kelahiran.
Hal itu termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait perang, dan menegaskan pentingnya menjaga lingkungan pendidik.
Tetapi hal itu tak memberikan bantuan yang besar.
Pada 2022, angka kelahiran anjlok hingga di bawah 800.000, dan menurut perkiraan pemerintah, itu merupakan sebuah rekor terendah selama ini.
Hal itu juga terjadi delapan tahun lebih awal dari yang diramalkan, dan memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil, dan sering kali menjadi jantung kota dan di pedesaan.
Menurut data pemerintah, sekitar 450 sekolah ditutup setiap tahun.
Antara 2002 dan 2020, hampir 9.0000 sekolah ditutup secara permanen sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk menarik penduduk baru dan lebih muda.
“Saya orang yang tak akan menganggap daerah ini sebagai tempat pindah untuk memulai sebuah keluarga jika tak ada sekolah menengah pertama,” tutur Masumi, ibu Eita yang juga lulusan Yumoto.
Ten-ei merupakan desa dengan jumlah penduduk di bawah 5.000 orang, dan hanya 10 persen yang berusia di bawah 18 tahun.
Baca Juga: Doa Paus Fransiskus di Misa Paskah, Pertolongan untuk Rakyat Ukraina dan Perdamaian Palestina-Israel
Puncak populasi di desa tersebut adalah pada sekitar 1950-an, di mana ada lebih dari 10.000 warga, yang didukung pertandingan dan perindustrian.
Namun, daerah yang terpencil dan tak nyaman, jumlahnya semakin meningkat sehingga mendorong penduduk untuk pergi.
Depopulasi berkembang cepat setelah bencana PLTN Fukushima, 11 Maret 2011 lalu.
Ten-ei merupakan salah satu daerah yang terdampak kontaminasi radioaktif, meski sudah dibersihkan.
Sumber : Al-Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.